06 Februari 2008

MEDIA, POLITIK DAN OPINI PUBLIK

Keberadaan media massa dewasa ini telah dapat membawa angin perubahan yang signifikan bagi perkembangan kehidupan manusia. Satu sisi, manusia adalah mahluk individu, dan di sisi lain manusia juga membutuhkan orang lain dalam relasi sosial hidup bersama dan bermasyarakat. Sehingga, kehadiran media massa dianggap bisa membantu manusia untuk berinteraksi antara satu dengan lainnya.

Salah satu sifat dasar manusia adalah rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu. Kebutuhan itu semakin dirasakan di tengah dinamika kehidupan yang terasa berputar cepat. Di sinilah media massa berperan, terutama dalam memberikan akses bagi orang-orang untuk memperoleh informasi yang mereka butuhkan. Seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia yang semakin kompleks, peran media pun semakin berkembang. Artinya, media tidak hanya berperan memberikan akses informasi semata, bahkan lebih dari sekedar itu, peran media sudah menembus alam bawah sadar manusia, sehingga secara tidak sadar apa yang diucapkan dan dilakukan manusia merupakan dampak dari pengaruh media.

Media dan Pengaruh Sosial
Tayangan di televisi, misalnya, bukanlah sekedar tayangan biasa yang tidak memiliki pengaruh apapun. Ketika seorang anak kecil berlagak seperti seorang super hero, lengkap dengan atribut yang dikenakannya, adalah karena anak tersebut dipengaruhi oleh tayangan yang dia tonton. Atau ketika seorang ibu yang lebih suka menggunakan suatu produk, dan tidak ingin menggantinya dengan produk yang lain, juga karena disebabkan oleh pengaruh media yang mengiklankan produk yang dia sukai. Begitu pula halnya dengan media dengar, seperti radio. Banyak sudah contoh-contoh yang mengindikasikan betapa radio juga memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membentuk tindakan seseorang.

Di era globalisasi saat ini, peranan media, bahkan, sudah menjadi trendsetter atas kemajuan yang ada. Ini adalah realitas bahwa peran media sekarang dan untuk yang akan datang sungguh luar biasa. Seseorang yang bukanlah siapa-siapa sebelumnya, dengan dukungan media, dia menjadi seorang bintang yang bersinar. Di sisi lain, media bahkan juga berperan dalam mempengaruhi opini publik. Kita tentu masih ingat, bagaimana partai politik-partai politik yang bertarung dalam Pemilu 2004 yang lalu sangat gencar mempengaruhi pemilih dengan menggunakan media massa sebagai sarana sosialisasi. Begitu pula halnya ketika AS dan sekutunya mencitrakan Islam dan negara-negara Islam sebagai teroris, sedikit banyak media ikut berperan di dalamnya.

Tidak mengherankan jika sekarang banyak kalangan berpendapat bahwa bila ingin menguasai dunia, maka kuasailah media. Sebab, dengan menguasai media, mereka dengan “bebas” dapat mempengaruhi opini publik. Dunia sudah tidak lagi sebesar sekarang. Dunia sudah berubah menjadi kecil dan hanya selebar monitor televisi, seluas halaman koran, bahkan sebesar kepingan CD. Ini semua berkat pengaruh media, sehingga dunia tidak ubahnya seperti kampung global.

Media merupakan organisasi, baik pemerintah maupun swasta, yang bertugas memberi informasi kepada publik. Di zaman modern, instrumen media meliputi koran, majalah, televisi, radio, dan lain sebagainya. Fungsi media cukup banyak, terdiri atas melaporkan fakta dan memberikan informasi, mendidik publik, memberi komentar, dan menyampaikan dan membentuk opini publik (Legowo, dkk, 2000: 7-8). Lebih jauh lagi, media juga berfungsi mengkritik, mengatur dan “mengontrol” pemerintah (termasuk polisi dan militer), serta pegawai negeri dan semua pelaku politik, kader partai yang terpilih maupun tidak terpilih, dan wakil LSM. Pendeknya, semua orang yang beraksi dalam lingkup publik. Karena itu, saat ini media merupakan faktor sentral dalam membentuk opini publik (Legowo, dkk, ibid: 8).

Media, Politik dan Opini Publik
Dunia politik hampir tidak dapat dipisahkan dari opini publik sebagai salah satu objek politik dan media sebagai sarananya. Dalam Pemilu kemarin, misalnya, sangat menarik melihat bagaimana media membentuk dan mempengaruhi opini publik, termasuk hubungan yang terjalin antara media dengan pelaku politik, seperti politisi, partai politik dan masyarakat umum. Iklan-iklan politik peserta Pemilu banyak bermunculan menjajakan platform-nya. Pertanyaannya, dalam konteks politik, bagaimana media dapat membentuk dan mempengaruhi opini masyarakat, sehingga secara mayoritas publik menerima semua keputusan-keputusan politik, atau dalam konteks Pemilu, menyebabkan masyarakat dengan mantap menetapkan pilihan kepada parpol tertentu? Namun, sebelum melangkah lebih jauh, apa sebetulnya opini publik itu?

Opini publik merupakan pandangan orang banyak yang tidak terorganisasi, tersebar di mana-mana, dan karena kesamaan pandangan terhadap sesuatu, mereka secara sadar atau tidak dapat bergerak serentak dan bersatu-padu menyikapi sesuatu tersebut. Untuk itu, opini publik bisa diciptakan dan direncanakan. Seringkali - kalau tidak selalu - muatan berita sebuah media massa bermisi pembentukan opini publik. Jika sekarang lebih banyak orang memandang Usamah bin Ladin sebagai seorang teroris, hal itu karena tulisan yang membentuk opini publik Usamah sebagai teroris lebih banyak dan dominan ketimbang tulisan yang menyanjungnya sebagai pejuang pembela Islam. Untuk membentuk opini publik, yang perlu dilakukan hanyalah mengintensifkan informasi yang harus sampai ke publik sesuai yang diinginkan. Misalnya, jika ingin membentuk citra yang baik tentang organisasi A, maka ekspos terus-menerus kiprahnya yang baik-baik (Jend. Romel, pesantren.net: 15-05-2002). Dengan demikian, opini publik dapat mengandung kesan positif maupun negatif, tergantung pada kepentingan orang atau lembaga yang mengarahkan media untuk mencitrakan kesan tersebut.

Dalam penyelenggaraan Pemilu yang lalu, kiprah media dalam menyusun – lebih tepatnya membentuk opini masyarakat – tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Masyarakat lebih mengenal suatu partai politik, proses dan mekanisme Pemilu, dan tetek bengek lainnya, lebih banyak mengetahuinya melalui media. Pemilu 2004 dianggap sukses apabila publik memilih partai dan kandidat yang bisa menyelenggarakan negara sesuai dengan cita-cita bangsa. Karenanya, publik membutuhkan informasi yang berkualitas tentang semua peserta Pemilu, sehingga menjadi pemilih yang well informed. Di sinilah kemudian media memainkan peranan sangat krusial (hal ini diungkapkan oleh Victor Penayang, dalam diskusi berjudul “Partai Politik, Pemilu dan Media Massa”, 8 Februari 2004).

Peranan media tidak berhenti di situ saja, namun akan terus berlanjut hingga Pemilu usai. Pemilu yang nantinya akan menghasilkan elit-elit politik, dan dengan demikian memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakaan pemerintahan negara, maka peran media adalah mengawasi dan memberikan informasi kepada publik atas aktivitas-aktivitas dan keputusan-keputusan politik yang dilakukan oleh para elit politik tersebut. Aktivitas dan keputusan politik akan menjadi sentra perhatian dan secara tidak langsung akan membentuk opini dalam masyarakat.

Dalam mekanisme demokrasi, publik merupakan penguasa. Setiap keputusan-keputusan politik yang dihasilkan dan mengikat semua orang haruslah diketahui terlebih dahulu oleh publik (masyarakat). Publik tentunya akan merespon keputusan tersebut, apakah sesuai dengan aspirasi mereka atau tidak. Respon tersebut kemudian menjadi pedoman bagi para elit untuk memperbaiki keputusan yang mereka keluarkan, begitu seterusnya hingga masyarakat (publik) akan menerima keputusan tersebut. Terhadap semua itu, tentunya medialah yang berperan sebagai sarana perantara dalam menginformasikan semua keputusan yang dihasilkan elit dan untuk mendapatkan respon dari publik, agar terjadi kesempurnaan atas keputusan tersebut.

Dewasa ini, proses pembentukan opini publik sangat dipengaruhi oleh partai politik itu sendiri. Pimpinan partai politik akan menentukan dan memformulasikan isu politik yang ada. Hal ini kemudian akan disampaikan ke publik, dan mempengaruhi opini publik serta membentuk persepsi publik. Saat ini media telah mengambil alih sebagian dari peran tersebut. Program-program acara, seperti talkshow, dan sebagainya di televisi maupun di radio menjadi sarana efektif adalam membentu opini publik. Bersamaan dengan itu, merekapun akan menjadi sarana untuk menyebarkan pengaruh dalam membuat keputusan politik.

Meski demikian, bukan berarti media tidak memiliki kekurangan. Dr. Rainer Adam, dalam tulisannya yang berjudul “Media dan Politik”, mengindikasikan beberapa kekurangan media dalam meliput kegiatan politik dan pasar politik. Bahwa media seringkali mempunyai kecenderungan untuk menyederhanakan, personalisasi dan emosional. Karenanya tak heran apabila media sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkepentingan dan mengembangkan hubungan simbiotik dengan jurnalis dalam memproduksi kegiatan dan acara media (dalam T.A. Legowo, 2000: 13).

Namun, terlepas dari semua itu, media tetap memiliki arti penting bagi publik. Tanpa media, publik tentu akan mengalami kebutaan informasi, dan jika terjadi demikian, maka publik akan menjadi objek politik yang bisa diperlakukan sewenang-wenangnya. Netralitas media sangat penting dalam meminimalisir dimanfaatkannnya media untuk kepentingan tertentu, meski netralitas mediapun hingga saat ini, masih dalam perdebatan yang panjang.

Perempuan Juga Manusia

Rasanya waktu seakan berjalan lambat dalam sebuah diskusi yang menurutku biasa-biasa saja. Sebetulnya diskusi tersebut cukup menarik bertemakan ”Perempuan dan Kekuasaan”. Hanya saja mungkin badanku terlalu capek, sebab hari ini aku ada tiga mata kuliah yang harus dihadiri. Belum lagi malamnya aku hanya tidur tidak lebih dari empat jam. Praktis di dalam kelas aku seperti antara sadar dan tidak mendengarkan dosen berbicara tentang mata kulaih yang diampunya.

Seperti yang kubilang tadi, tema ”Perempuan dan Kekuasaan” cukup menarik untuk didiskusikan.

”Perempuan adalah objek kekuasaan. Sistem patriarki yang berlangsung sejak lama menempatkan perempuan dalam subordinat laki-laki. Dan ini terus menerus berlangsung. Oleh karena itu, pandangan terhadap kekuasaan harus diubah. Sebab posisi perempuan dan laki-laki adalah sejajar. Perempuan dan laki-laki dapat menjadi mitra yang equal,”demikian salah seorang pembicara menyampaikan pendapatnya dalam forum tersebut.

Strong women adalah sebuah istilah yang ditujukan bagi perempuan yang gigih. Namun, strong women bukan berarti melupakan karakter diri dari perempuan. Agaknya menarik juga untuk didiskusikan sebuah opini kontroversi dimana terdapat dua tanda dalam diri perempuan, pertama, dia lemah dan yang kedua, suka menangis.

Lemah seringkali diartikan sebagai ketidakberdayaan, baik fisik maupun mental. Sementara menangis merupakan efek atau manifestasi dari ketidakberdayaan itu. Menangis adalah kondisi terendah dari kelemahan yang ditunjukkan oleh perempuan. Pertanyaannya adalah apakah lemah yang dimaksud merupakan sifat kodrati, yang timbul dan terlahir karena ciptaanNya atau sebetulnya lebih merupakan stigma yang terus menerus dikembangkan dari proses dominasi pria terhadap perempuan? Kemudian apakah menangis pertanda lemah?

Jika lemah merupakan sifat kodrati hasil ciptaan Tuhan, dengan demikian maka logika akan berkata bahwa ternyata Tuhan itu bergolongan pria. Dia ciptakan perempuan bersifat lemah karena tidak ingin perempuan lebih perkasa dari golonganNya sendiri. Tetapi agaknya ini anggapan yang naif sebab bukankah Tuhan Maha Pencipta yang sempurna.

Pastinya, pandangan subjektif kaum pria memiliki kontribusi yang besar dalam menjustifikasi demikian agar mungkin saja ada keseimbangan sebagaimana pria lebih mengkedepankan rasionalitas, sementara perempuan lebih mengkedepankan perasaan.

Benarkah? Sulit untuk dibuktikan memang. Namun yang jelas jangan tanya saya. Saya pria. Secara pribadi, saya tidak setuju kalau lemah diartikan sebagai ketidakberdayaan, baik fisik maupun mental. Perempuan hamil menahan beban selama kurang lebih sembilan bulan apa bisa dikatakan lemah? Kemudian melahirkan yang konon kata perempuan yang sudah mengalami, sakitnya hampir seperti nyawa pada waktu hendak dicabut oleh malaikat Izrail. Lalu lemahnya dimana? Entahlah saya sendiri bingung.

Lau mengapa perempuan menangis? Inilah sebetulnya kelemahan pria terbesar karena terhalang dinding keterbatasan penegtahuan yang dimiliki Ilahi Rabbi. “Ini adalah air mata kehidupan. Maka biarkanlah ini menjadi rahasia terbesar yang hanya diketahui perempuan dan Tuhan”.

04 Februari 2008

Mencintai

Sangatlah menyakitkan mencintai seseorang, tetapi tidak dicintai olehnya. Tetapi lebih indah untuk mencintai dan tidak pernah menemukan keberanian untuk memberitahu mereka apa yang kamu rasakan.

Mungkin Tuhan menginginkan kita untuk bertemu dengan orang yang tidak tepat sebelumnya, jadi ketika kita akhirnya bertemu dengan orang yang tepat, kita akan tahu betapa berharganya anugerah tersebut.

Cinta adalah ketika kamu membawa perasaan, kesabaran dan romantisme dalam suatu hubungan dan menemukan bahwa kamu peduli dengan dia.

Hal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika kamu bertemu dengan seseorang yang sangat berarti bagimu, hanya untuk menemukan bahwa pada akhirnya menjadi tidak berarti dan kamu harus membiarkannya pergi. Ketika pintu kebahagiaan tertutup dan yang lain terbuka. Tetapi kadang-kadang kita menatap terlalu lama pada pintu yang telah tertutup itu sehingga kita tidak melihat pintu lain yang telah terbuka untuk kita.

Teman yang terbaik adalah teman dimana kamu dapat duduk bersamanya dan merasa terbuai, dan tidak pernah mengatakan apa-apa dan kemudian berjalan bersama.

Perasaan seperti itu adalah percakapan termanis yang pernah kamu rasakan.

Benarlah bahwa kita tidak tahu apa yang kita dapatkan sampai kita kehilangan itu. Tetapi benar juga bahwa kita tidak tahu apa yang hilang sampai itu ada.

Memberikan seseorang semua cintamu tidak akan pernah menjamin bahwa mereka akan mencintai kamu juga!!!

Jangan mengharapkan cinta sebagai balasan, tunggulah sampai itu tumbuh di dalam hati mereka. Tetapi jika tidak pastikan dia tumbuh di dalam hatimu.

Ada hal yang sangat ingin kamu dengar tetapi tidak akan pernah kamu dengar dari orang yang dari mereka kamu ingin dengar. Tetapi jangan sampai kamu menjadi tuli walaupun kamu tidak mendengar itu dari seseorang yang mengatakan itu dari hatinya.

Jangan pernah berkata selamat tinggal jika kamu masih ingin mencoba.
Jangan menyerah selama kamu merasa masih dapat maju.
Jangan pernah berkata kamu tidak mencintai orang itu lagi bila kamu tidak bisa membiarkannya pergi.

Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan walaupun mereka telah dikecewakan.

kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati.
Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun telah disakiti sebelumnya.
Kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangun kembali kepercayaan.

Hanya perlu satu menit untuk menghancurkan seseorang,
satu jam untuk menyukai seseorang, satu hari untuk mencintai seseorang,
tetapi membutuhkan seumur hidup untuk melupakan seseorang.

Jangan melihat dari wajah, itu bisa menipu.
Jangan melihat kekayaan, itu bisa menghilang. Datanglah kepada seseorang yang dapat membuatmu tersenyum karena sebuah senyuman dapat membuat hari yang gelap menjadi cerah. Berharaplah kamu dapat menemukan seseorang yang dapat membuatmu tersenyum.

Ada saat didalam kehidupanmu dimana kamu sangat merindukan seseorang, kamu ingin mengambil mereka dari mimpimu dan benar-benar memeluk dia.

Berharaplah kamu dapat bermimpi tentang dia, yang berartimimpilah apa yang ingin kamu mimpikan. Pergilah kemana kamu ingin pergi, jadilah sesuai dengan keinginan kamu karena kamu hanya hidup sekali dan satu kesempatan untuk melakukan apa yang kamu inginkan.

Semoga kamu mendapat cukup kebahagiaan untuk membuat kamu bahagia, cukup cobaan untuk membuatmu kuat, cukup penderitaan untuk membuat kamu menjadi manusia yang sesungguhnya dan cukup harapan untuk membuat kamu bahagia.

Selalu letakkan dirimu pada posisi orang lain. Jika kamu merasa itu menyakitkan kamu mungkin itu menyakitkan orang itu juga.

Kata-kata ceroboh dapat mengakibatkan perselisihan, kata-kata yang kasar bisa membuat celaka, kata-kata yang tepat waktu dapatmengurangi ketegangan, kata-kata cinta dapat menyembuhkan dan menyenangkan.

Permulaan cinta adalah dengan membiarkan orang yang kita cintai menjadi dirinya sendiri dan tidak membentuk mereka menjadi sesuai keinginan kita. Dengan kata lain kita mencintai bayangan kita yang ada pada diri mereka.

Orang yang tidak bahagia tidak perlu memiliki yang terbaik dari segala hal. Mereka hanya membuat menjadi baik segala hal yang datang dalam hidup mereka.
Kebahagiaan adalah bohong bagi mereka yang menangis, mereka yang terluka, mereka yang mencari, mereka yang mencoba.

Mereka hanya bisa menghargai orang-orang yang penting yang telah menyentuh hidup mereka.
Cinta mulai dengan senyuman, tumbuh dengan ciuman dan berakhir dengan air mata.
Masa depan yang cerah berdasarkan pada masa lalu yang telah dilupakan.

Kamu dapat melangkah dengan baik dalam kehidupan kamu sampai kamu melupakan kegagalan kamu dan rasa sakit hati.

Ketika kamu lahir, kamu menangis dan semua orang di sekeliling kamu tersenyum.
Hiduplah dengan hidupmu, jadi ketika kamu meninggal, kamu satu-satunya yang tersenyum dan semua orang di sekeliling kamu menangis.

01 Februari 2008

Perlunya Kesadaran Kolektif Anak Bangsa

Perkembangan Indonesia dewasa ini telah sampai pada tahap yang cukup memprihatinkan. Kemelut kehidupan kian mencekam, seiring laju pembangunan yang terus menerus digulirkan oleh pemerintah. Fenomena-fenomena klasik tentang kondisi masyarakat yang pada beberapa tahun silam sempat mengalami kemajuan, kini hadir kembali dan memenuhi hampir pada setiap wacana tentang pemerintahan dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun beginilah realitas, ada kalanya kita berbangga dengan upaya yang telah dilakukan sehingga mampu mengangkat sedikit martabat dan derajat, tetapi di waktu lain keadaan itu merupakan kenyataan pahit yang harus dihadapi.

Fenomena-fenomena sosial, seperti kemiskinan, kelaparan, penyakit, degradasi lingkungan, dan sebagainya, hampir setiap hari menjadi head line pada setiap wacana di Indonesia khususnya, dan juga di negara-negara dunia ketiga. Hampir setiap hari kita selalu mendengar dan melihat bagaimana realitas kehidupan seperti di atas mengisi ruang-ruang pembicaraan dan selalu diangkat sebagai problema yang ingin diselesaikan. Tidak hanya itu, berbagai teori pun banyak dimunculkan untuk sekedar memberi penjelasan tentang kenyataan tersebut. Apapun itu, tetap saja kondisi di atas adalah realitas dan merupakan masalah sosial yang mau tidak mau, suka atau tidak suka harus dicari penyelesaiannya.

Ibarat telur dengan ayam, mana yang keluar duluan, begitulah menganalogikan antara kemiskinan, kelaparan, dan sebagainya dengan pembangunan yang diselenggarakan. Seringkali kita terkecoh ketika menentukan mana sebab dan mana akibat. Apakah pembangunan dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah sosial di atas atau justru pembangunanlah yang menyebabkan masalah-masalah tersebut. Taruh saja sebagai contoh, kebijakan untuk menyebarkan penduduk dengan program transmigrasi. Transmigrasi merupakan kebijakan pemerintah untuk tidak hanya menyebarkan penduduk dari suatu tempat yang padat ke tempat lain yang lebih jarang penduduknya, tetapi juga membuka jalan bagi individu-individu yang bersedia mengikuti kebijakan tersebut untuk mendapatkan kesejahteraan di tempat yang baru. Sepintas memang kebijakan ini memberi harapan, namun di sisi lain ternyata membawa dampak yang cukup besar bagi faktor-faktor yang lain.

Memang tidak ada yang salah dengan kebijakan tersebut, semua bisa dilaksanakan dengan lancar, meski pada awalnya dilakukan dengan sedikit “pemaksaan”. Hanya saja cara yang dilakukan pemerintah dalam melaksanakan program tersebut belum memberikan tindakan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Misalnya dengan melalui penyadaran dan memberikan bekal pengetahuan yang cukup tentang bagaimana mengelola kehidupan nantinya di tempat yang baru. Ibarat memberi ikan bukan kail, setiap transmigran sudah disediakan lahan, perumahan, dan peralatan yang cukup untuk mengolah lahan. Setelah itu silahkan melakukan sendiri entah bagaimana caranya. Padahal kita ketahui bersama bahwa ternyata tidak semua transmigran memiliki kemampuan untuk mengelola penghidupan seperti itu. Sehingga pada akhirnya tidak sedikit yang kembali ke daerah asal karena mereka tidak bisa berbuat banyak di tempat tersebut, meski tidak bisa kita pungkiri bahwa tidak sedikit pula yang memperoleh keberhasilan.

Belum dampak lain yang timbul akibat penerapan kebijakan tersebut. Kita contohkan saja, misalnya adalah penebangan hutan guna membuka lahan baru bagi para transmigran, dan pada akhirnya mengakibatkan kerusakan yang cukup parah pada kondisi hutan. Keadaan ini masih terus berlanjut, cuma bedanya pengrusakan hutan dilakukan oleh para transmigran itu sendiri. Dampak lain seperti menciptakan kembali masalah kemiskinan, akibat tidak berhasil di tempat baru dan juga tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk memulai kehidupan lain yang baru. Dan kalaupun bisa juga tidak menyebabkan perubahan yang signifikan.

Setiap usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang ada dengan berbagai kebijakan sebagai proses pembangunan haruslah disyukuri dan di dukung. Namun perlu diingat juga bahwa segala implementasi pembangunan yang diselenggarakan tidak akan mencapai tujuan secara maksimal apabila tidak diimbangi dengan kesadaran penuh masyarakat akan arti penting pembangunan itu sendiri. Pemerintah juga tidak bisa menyalahkan masyarakat apabila pada setiap implementasi kebijakan pembangunan kurang mendapatkan antusiasme masyarakat, sebab secara sosiokultural, masyarakat Indonesia secara mayoritas masih seperti itu. Justru peran pemerintah diharapkan lebih besar untuk mengatasi kurangnya antusiasme masyarakat terlebih dahulu, sebelum melaksanakan program-program pembangunan itu sendiri.

Karena itu upaya tersebut bisa dilakukan secara optimal apabila pemerintah mampu melibatkan masyarakat di dalamnya. Dalam artian bahwa keterlibatan masyarakat tidak sebatas hanya pada implementasi pembangunan itu sendiri, namun juga pada proses perencanaan sebelum pembangunan dilaksanakan. Sehingga, dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam setiap proses pembangunan, tujuan untuk mendapatkan kesadaran dan antusias masyarakat terhadap pembangunan bisa dicapai. Penting bagi pemerintah untuk selalu bersikap transparan terhadap setiap proses pembangunan, dan yang lebih penting lagi adalah akuntabiltas harus tetap dijunjung tinggi supaya masyarakat merasa percaya dan yakin bahwa pembangunan yang akan diselenggarakan betul-betul dibutuhkan oleh masyarakat banyak dan bertujuan mengatasi masalah-masalah sosial yang ada.

Selain itu, usaha lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk memperoleh kesadaran penuh masyarakat terhadap setiap proses pembangunan adalah dengan memberikan pendidikan yang layak bagi seluruh masyarakat yang ada di tanah air ini, tanpa terkecuali. Boleh jadi hal ini telah dilakukan, namun apakah pemerintah telah memikirkan bahwa pendidikan yang diberikan sudah betul-betul mampu membuka kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pembangunan? Lalu pendidikan seperti apa yang mampu membuka kesadaran masyarakat? Menurut hemat saya, model pendidikan yang mampu membuka kesadaran masyarakat adalah model pendidikan partisipatoris. Model pendidikan partisipatoris artinya pendidikan yang bertumpu pada keaktifan, kekritisan dan sebagainya serta lebih menilai proses daripada hasil akhir. Pendidikan partisipatoris berarti pula membuka peluang pada setiap orang untuk terlibat dan merasa dipentingkan dengan banyak hal serta bersifat dialogis ketimbang monolog seperti yang masih berlangsung hingga sekarang.

Kesadaran masyarakat memang memiliki batasan yang sangat luas, namun apabila masyarakat telah diarahkan dengan pendidikan yang layak, maka saya yakin dengan sendirinya masyarakat akan memahami dan menyadari akan pentingnya pembangunan bagi mereka sendiri. Selain itu perlu diingat pula bahwa dengan kondisi realitas yang ada saat ini, dengan segala keterbatasan dan kekurangan, tidak kemudian menjadi alasan untuk tidak melakukan apapun. Masalah tetap harus diatasi bagaimanapun keadaannya. Untuk itu, prioritas permasalahan harus menjadi perhatian utama pemerintah agar nantinya tidak ada yang merasa dirugikan atas proses pembangunan yang dilaksanakan.

Tujuan pembangunan millennium Indonesia yang hendak dicapai pada tahun 2015 boleh jadi merupakan target yang wajar dan masuk akal selama proses yang diselenggarakan betul-betul konsisten dengan tujuan yang ditetapkan. Konsistensi ini penting sebab mustahil pembangunan millennium atau apapun itu dapat dilaksanakan tanpa adanya keinginan yang kuat dan niat yang tulus untuk menjalankannya. Namun target tersebut menjadi muluk dan berlebihan apabila instrumen-instrumen yang dilibatkan dan komponen-komponen yang diikuitsertakan tidak memiliki jiwa yang kuat untuk memulai suatu perubahan. Bukan hanya terhadap masyarakat, tetapi juga terhadap pemerintah sebagai penyelenggaraan pembangunan. Setiap komponen, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat, harus berjalan selaras dan mampu mengimbangi antara satu dengan lainnya. Sinergi pikiran dan tindakan harus dimunculkan agar dalam prosesnya nanti tidak terjadi kesalahpahaman yang bisa mengakibatkan perselisihan dan perpecahan.

Tujuan hanyalah hasil akhir yang hendak dicapai, apakah sesuai atau tidak dengan harapan. Oleh karena itu prosesnya perlu diawali dengan perencanaan yang matang, berupa visi dan misi yang jelas, cara implementasi, prosesnya, waktu dan target, kemudian dilakukan perhitungan dan estimasi pencapaian tujuan berdasarkan prioritas-prioritas yang ditetapkan. Selanjutnya adalah manajemen sumber daya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan suatu program pembangunan, hingga pada akhir pencapaian tujuan, semua ini harus betul-betul diproses secara mantap dan terarah.

Akhirnya, bagi saya adalah kewajiban untuk mendukung setiap proses pembangunan yang berorientasi kepada masyarakat. Terlebih kedudukan saya sebagai seorang anggota masyarakat, maka kewajiban tidak hanya sebatas memberikan dukungan, namun juga bertanggung jawab terhadap perubahan yang ada di masyarakat. Bentuknya bisa bermacam-macam tergantung basis keilmuan yang didapat atau dengan cara lain yang berguna. Intinya selama pembangunan dilaksanakan sesuai dengan aturan dan benar-benar berorientasi pada masyarakat banyak serta berwawasan masa depan, maka saya akan dukung dengan kesadaran penuh.

Di Sebuah Taman Kampus

Sekilas tidak nampak keistimewaan padanya. Layaknya gadis yang tumbuh dewasa, dia cantik, berkulit kuning langsat, tubuh tinggi semampai dengan pakaian yang kasual tetapi tetap sopan dan dibalut kerudung yang hampir setiap hari diikat dengan variasi yang berbeda. Warna kesukaannya adalah merah muda, menandakan kelembutan, selembut warna kesukaannya. Dia mahasiswi semester akhir di dua universitas terkemuka di Jogja. Bicaranya lancar selancar kendaraan yang melaju di jalan tol, tetapi tegas dan berwibawa. Bahasa Inggrisnya heh...jangan ditanya. Menginap sementara, kurang lebih lima tahun di negeri patung Liberty membuatnya tak ubah seperti angsa putih Walt Disney.

Lia, demikian namanya dipanggil. Lia yang muda, cantik, segudang prestasi dan disukai banyak orang. Bagi yang mengenalnya dengan baik, dia adalah sosok yang bukan tipe pendiam. Hari-harinya dipenuhi dengan dua telepon genggam yang selalu berbunyi dan menyuruhnya beranjak lalu pergi. Mungkin motonya adalah “tiada hari tanpa kesibukan”. Lia adalah seorang pemikir bebas dan mandiri. Namun hanya sedikit yang tahu bahwa dia juga seorang ambisius tulen. Buku agendanya penuh berisi jadwal dan terget yang harus dicapai.

Hingga di suatu siang di taman kampus, Lia datang menghampiri temannya seoarang perempuan lalu berucap,

“Aku ingin menikah segera rasanya”

“Secepat itukah”, tanya temannya.

“Ya...”

“Bagaimana dengan ambisimu mengenai masa depan? Apa dirimu sanggup mengganti habit baru yang konon katanya lebih kompleks?”, tanya teman perempuannya lagi mencecar dengan mimik serius.

“Bukankah menjadi ibu adalah ambisi yang paling sempurna?”,jawabnya meyakinkan.

“Aku tidak mencoba menghilangkan ambisiku. Hanya berbagi dan memahami bahwa ambisi juga merupakan tanggung jawab bahwa aku tidak sendiri”,katanya lagi menambahkan.

Dalam konteksnya, ambisi adalah semangat, bahan bakar pendorong hati untuk bergerak mencapai tujuan. Ambisi merupakan perpaduan antara harapan, realitas dan keyakinan perwujudan. Ambisi dianggap realistis jika kondusif dan sinergis dengan kemampuan. Meski kadangkala mesti ditempatkan pada keterbatasan. Ambisi bagaimanapun akan selalu bersifat positif. Karenanya tidak perlu dibatasi. Biarkan dia mengalir seperti sungai, berkembang seperti bunga mekar, melambung seperti jiwa-jiwa yang syahdu.

Kembali ke kasus Lia bahwa dia mencoba menempatkan ambisi pada tempatnya, tanpa merasa terbebani dengan ambisi itu sendiri. Baginya, ambisi bukanlah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Sampai di sini, coba ambil bulu ayam dan korek kuping kita dengannnya. Ambisi tetap sesuatu yang perlu dinikmati. Seperti bulu ayam yang dijadikan alat pengorek kuping. Nimati saja, enak bukan?

BICARA TENTANG KEKAYAAN

Suatu waktu, seorang teman datang sambil berkeluh kesah tentang betapa hampa kehidupannya selama ini meski hidupnya berada dalam ’sangkar emas’.

”Aku bahkan tak mampu menilai diriku sendiri. Ketersediaan dari segala yang kuinginkan justru membuatku seperti berada dalam dunia mimpi. Tidak ada yang istimewa kecuali hanya menjadi sendiri”, begitu katanya.
Kegersangan jiwa sepertinya sudah sampai ke ubun-ubun. Menembus pikiran rasionalitasnya sebagai manusia. Katakanlah berada pada titik kritis keputusasaan.

Keberlimpahan materi ternyata tidak mampu menjadikannya sebagai manusia, kecuali budak yang mengikuti hawa nafsu atas harta sebagai tuhan. Hidupnya selalu dipenuhi hasrat untuk selalu dan selalu mencari, mempertahankan dan dihantui perasaan takut kehilangan.

Ada semacam stigma dalam benak manusia yang mengorientasikan harta (materi) sebagai tujuan hidup. Adalah mahluk langka yang mampu menjadikan materi sebagai penunjang hidup. Pertanyaan retoris yang mungkin harus dijawab adalah siapakah yang harus tunduk, harta kepada kita atau kita kepada harta?

Menjadi kaya, maka kemuliaan akan didapat, benarkah? Mungkin kita harus kembali mengingat nasehat orang tua kita dulu yang mengatakan bahwa kemuliaan seseorang lebih diukur atas apa yang dia berikan, bukan apa yang dia miliki. Benarlah demikian. Toh materi tidak mampu merubah jatah hidup kita yang terus menerus berkurang. Toh materi juga tidak mampu merubah ketetapan Ilahi memajukan atau memundurkan waktu maut menjemput. Toh materi juga terkadang tidak mampu menghadirkan mimpi-mimpi indah dalam nikmatnya tidur.

Seorang guru saya pernah berujar,”Milikmu adalah apa yang kamu berikan pada orang lain. Sederhananya, seribu rupiah yang kamu berikan pada orang lain yang miskin yang diambil dari sepuluh ribu rupiah yang ada padamu, itulah milikmu. Selebihnya entah milik siapa. Mengutip dari perkataan orang bijak bahwa mewarisi anak dengan harta, maka akan buta hatinya. Sebaliknya, mewarisi anak dengan ilmu, maka akan terbuka hatinya.

”Tidak ada yang bisa kuberikan teman kecuali sebuah nasehat agar lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan titipkan harapan padaNya semoga menyembuhkan kegersangan jiwamu itu. Sebab teman, segala materi yang kau punya tidak akan menjadikan dirimu menjemput maut dengan sempurna. Kelak jika kau mati tidak ada harta yang akan mendampingi kecuali beberapa carik kain kafan yang bernilai tidak lebih mahal dari celana jeans-mu”.