19 Juni 2011

Partisipasi Politik dan Partai Politik

Prof Miriam Budiardjo menyatakan bahwa partisipasi warga negara di dalam politik dan kebijakan publik merupakan prasyarat bagi penyelenggaraan demokratisasi di negara manapun. Beliau mendifinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, melalui pemilihan kepala negara dan mempengaruhi kebijakan pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu partisipasi politik yang biasanya diikuti oleh seseorang atau kelompok adalah dengan menjadi anggota/partisan suatu partai politik. Adapun tujuan seseorang berpartisipasi dalam politik adalah untuk dapat melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan agar terjadi perubahan dalam kebijakan pemerintahan.

Berbagai pendapat dan asumsi para ilmuwan politik mengenai partisipasipun beragam. Namun secara umum mengutarakan hal yang tidak terlalu berbeda, yakni adanya keikutsertaan dan keterlibatan setiap warga masyarakat di dalam kehidupan politik. Di negara-negara penganut demokrasi, beliau menyatakan bahwa partispasi politik adalah basis di dalam penyelenggaraan kekuasaan. Artinya, partisipasi politik menentukan kebasahan suatu pemerintahan. Karena pada dasarnya, di dalam demokrasi yang tertinggi adalah kedaulatan rakyat. Di dalam negara-negara demokratis umumnya juga dianggap bahwa lebih banyak masyarakat berpartisipasi, maka kualitas demokrasi akan lebih baik.

Ada ilmuwan yang beranggapan bahwa partisipasi bersifat sukarela, seperti yang ada dalam demokrasi masyarakat barat. Herbert Mc Closky, Gabriel Almond, Norman H. Hie dan Sidney Verba adalah ilmuwan-ilmuwan yang berada pada posisi ini. Namun ada pula yang berpendapat bahwa kegiatan yang tidak sukarelapun tercakup karena sulitnya membedakan mana bentuk sukarela dan mana yang dipaksakan. Ini terjadi di negara-negara komunis misalnya. Di dalam kelompok masyarakat, sebetulnya juga terdapat masyarakat yang tidak melibatkan diri dalam politik. Mereka disebut apatis (apathy). Mereka adalah orang-orang yang memiliki alasan untuk tidak berpartisipasi dalam berpolitik. Alasan tersebut bisa karena ketidaktahuan akan politik dan juga karena memilih untuk memanfaatkan kesempatan berpartisipasi atau juga karena memang tidak perduli dengan segala urusan politik.

Baca lebih lanjut Klik Disini

17 Juni 2011

Menyingkap Wacana dan Pergerakan Islam Liberal di Indonesia










Judul : Islam Liberal : Paradigma Baru wacana dan Aksi Islam Indonesia

Penulis : Zuly Qodir

Penerbit : Pustaka Pelajar Yogyakarta

Terbit : Desember 2003

Halaman : 215 + xi hal.

Harga : Rp 20.000,-

Semua pemeluk Agama Islam meyakini Islam sebagai agama yang universal. Karena Islam bukanlah agama yang terbatas pada persoalan ibadah semata (menyangkut hubungan antara individu dengan Allah SWT), tetapi Islam juga berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran Islam memiliki makna Rahmatan Lil’alamin. Ajaran Islam juga diajarkan secara bertahap agar bisa dipahami oleh umat manusia dalam konteks zaman apapun.

Di Indonesia, pengalaman beragama, khususnya Islam sebagai agama mayoritas penduduk, bisa dikatakan unik. Persepsi penduduk terhadap agama Islam cukup beragam. Dari sini kita mengenal adanya istilah Islam Pesantren, Islam Priyayi dan Islam Abangan. Bahkan untuk setiap daerah, tradisi keislaman sangatlah bervariatif. Konteks keagamaan, khususnya Islam seperti ini, sedikit banyak dipengaruhi oleh pola penyebaran Islam di Indonesia, dan tidak lepas dari interpretasi yang berbeda dari setiap pemeluk, yang tentu saja disesuaikan dengan pemahaman mereka terhadap Islam sendiri.

Dinamika seperti ini dalam Islam sebetulnya wajar-wajar saja, dan dipersilahkan selama tidak mengubah paham Ketauhidan terhadap Allah SWT. Namun persoalannya kemudian adalah sebagai konsekuensi dari interpretasi yang beragam atas Islam di Indonesia, justru makin menjauhkan Islam dari nilai-nilai yang seharusnya. Kondisi ini semakin lama semakin memprihatinkan. Oleh karena itu, banyak gerakan-gerakan yang berlabel Islam yang mencoba untuk mengembalikan nilai-nilai Islam ke jalan yang lurus berdasarkan konteks semula dimana Islam untuk pertama kali diturunkan sebagai agama. Namun sebaliknya, ada pula gerakan yang mensikapi keadaan tersebut dengan mencoba berkompromi dengan nilai-nilai Islam. Artinya mencoba untuk mengkontekskan Islam sesuai dengan perkembangan zaman yang berlaku. Kedua varian ini nantinya melahirkan pergerakan-pergerakan baru. Kita contohkan, misalnya, dengan apa yang disebut orang sebagai Islam konservatif (mainstream-istilah Zuly Qodir), Islam Kiri, Islam Kanan, dan sebagainya.

Diantara varian-varian pergerakan tadi, terdapat satu varian lain yang cukup populis belakangan ini, yaitu yang disebut sebagai Islam Liberal. Istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur) untuk mensikapi perlunya memahami Islam secara lebih modern. Pada awalnya, wacana Islam Liberal sempat hangat dalam berbagai perdebatan, namun seiring waktu, wacana ini secara perlahan menghilang dari perdebatan. Sekarang, wacana ini kembali menggeliat, seiring perubahan konstelasi sosial dan politik yang memungkinkan wacana ini kembali dimunculkan.

Apa itu Islam Liberal? Mengapa perlu liberalisasi dalam Islam? Dan bagaimana prosesnya sehingga menyebabkan terjadi pergeseran tentang Islam Liberal dari sekedar wacana hingga menjadi sebuah pergerakan dan aksi di masyarakat?

Buku karangan Zuly Qodir ini mencoba menjelaskan semua kegelisahan tersebut. Buku ini berangkat dari kegusarannya mengapa Islam (tepatnya nilai-nilai Islam) perlu diperdebatkan. Kalau memang demikian, mengapa wacana Islam Liberal kurang begitu mendapat tempat di dalam masyarakat, sehingga Islam Liberal harus dicemooh dan dituding sebagai perusak nilai-nilai agama? Meski menurutnya dia bukanlah seorang penganjur perlunya liberalisasi dalam Islam, namun menurutnya Islam Liberal hendak memberikan tafsir baru, yang nantinya akan menjadi sebuah paradigma baru bagi perkembangan dan aksi Islam Indonesia, di tengah perkembangan sosial keagamaan. Baginya Islam Liberal bisa menjadi bagian tersendiri dalam masyarakat muslim Indonesia (hal. VII).

Persoalan wacana Islam Liberal memang belum mencapai titik kulminasi yang bisa menarik perhatian semua orang. Bisa dicontohkan, orang masih menganggap asing bila mendengar istilah Islam Liberal itu sendiri. Di situlah Zuly Qodir mencoba untuk memasyarakatkan wacana tersebut dengan memunculkan buku ini. Buku ini juga menghadirkan perspektif yang relevan dengan perdebatan yang mencuat belakangan ini, yakni tentang penegakan Syariah Islam Indonesia, meski menurutnya, ada sedikit penurunan momen terhadap wacana Islam Liberal. Artinya ada semacam “penyembunyian” wacana Islam Liberal dan pergerakannya saat ini untuk menyatakan betap kuatnya perdebatan wacana penegakan Syariah Islam di Indonesia. Walau demikian, menurutnya antara penegakan Syariah Islam dan Islam Liberal ada bagian yang tak terpisahkan.

Tema-tema yang diangkat dalam Islam Liberal merupakan tema yang relevan dengan kondisi mutakhir kenegaraan. Tema tersebut secara tidak langsung memberikan perimbangan dan kontrol (check and balance) dalam perkembangan pemikiran dan aksi Islam Indonesia. Dengan bergulirnya tema-tema seperti Islam dan Demokrasi, Islam dan Pluralisme, Islam dan Syariah menunjukkan bahwa Islam Liberal hendak memberikan “warna baru” dalam memahami Islam (hal. 161). Akan tetapi persoalannya tidak semua orang memahami Islam Liberal secara massif. Zuly Qodir beranggapan bahwa, meskipun wacana dan pergerakan Islam Liberal masih elitis, namun dia berkeyakinan bahwa nantinya Islam Liberal akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gerakan Islam Indonesia, baik yang mainstream (NU dan Muhammadiyah), maupun gerakan-gerakan Islam lain yang bercorak militan, fundamentalisme radikal.

Kami menilai buku ini sangat penting dibaca oleh siapapun yang menginginkan tambahan pengetahuan bagaimana wacana dan pergerakan Islam Liberal berkembang di Indonesia, baik itu untuk akademisi, mahasiwa, orang-orang yang “gemar” , memperdebatkan dan mempersoalkan pergeseran wacana dan pergerakan Islam Indonesia, dan juga bagi masyarakat yang memiliki kepedulian tentang wacana keagamaan, khususnya Islam. Buku ini memberikan penjelasan tentang percaturan wacana Islam di Indonesia, dan bagaimana perkembangannya. Penjelasan dalam buku ini cukup sistematis, dimulai dari bagaimana tahapan-tahapan sejarah munculnya Islam Liberal Indonesia, paradigma yang digunakan, sampai prospeknya di masa mendatang. Tulisannya sederhana, namun sarat akan pengetahuan. Kami kira buku ini cukup layak dibaca oleh siapapun.


16 Juni 2011

PILKADA DAN REFLEKSI PEMBANGUNAN DAERAH

Sebuah hajatan besar, ”pesta” demokrasi kembali akan berlangsung di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Untuk kesekian kalinya pula, masyarakat kembali akan dihadapkan pada pertarungan politik para calon dengan trik dan intrik yang manis dan propagandis. Pertanyaan yang paling penting adalah apakah masyarakat bisa menilai secara arif bakal calon yang akan mereka pilih guna memimpin daerah ini hingga lima tahun ke depan dengan pertimbangan yang objektif berdasarkan dinamika daerah yang berlangsung selama ini.

Refleksi Pembangunan Daerah

Sejak disahkan sebagai propinsi sendiri, Bangka Belitung sedikit banyak telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Banyak sisi-sisi positif yang berkembang di negeri Serumpun Sebalai saat ini. Perkembangan-perkembangan seperti ini merupakan langkah konkrit yang tentu harus tetap dipertahankan. Meski demikian tentunya tetap ada sisi-sisi negatif yang belum tersentuh untuk dilakukan perubahan. Dalam konteks seperti inilah masyarakat dituntut untuk mampu menilai secara arif dan bijak bagaimana mereka memandang berbagai dinamika tersebut guna kepentingan masyarakat di masa yang akan datang.

Ada beberapa aspek yang mungkin perlu diperhatikan oleh masyarakat dalam menilai perkembangan daerah saat ini, antara lain pertama, aspek akomodatif, dalam artian apakah terbentuknya propinsi sendiri saat ini berkontribusi terhadap kemajuan masyarakat. Ukuran-ukuran dalam aspek ini seperti kesejahteraan, terpenuhinya kebutuhan vital masyarakat, pemberantasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan lain sebagainya.

Kedua, aspek edukatif dan informatif, dalam artian apakah masyarakat telah mendapatkan nilai-nilai edukasi dan kebebasan dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan sebagai pendukung utama dalam setiap perkembangan daerah. Ukuran-ukurannya adalah seperti adanya perbaikan dibidang pendidikan, terbukanya akses-akses informasi yang faktual, adanya perubahan pola pikir masyarakat yang lebih baik, dan sebagainya.

Ketiga, aspek akuntabilitas dan refomasi birokrasi, dalam artian apakah pemerintah daerah selama ini telah mampu menciptakan good governance di tingkat lokal. Ukuran-ukuran dalam aspek ini adalah seperti pemerintahan yang bersih dari KKN, transparansi pemerintahan, aksesibilitas, penegakan hukum, dan lain-lain.

Keempat, aspek sosial dan politik, dalam artian apakah bahtera propinsi yang dijalankan selama ini telah mulai mampu menciptakan situasi sosial dan politik yang kondusif bagi masyarakat. Ukuran-ukurannya adalah seperti adanya pendidikan politik bagi masyarakat, bekerjanya lembaga-lembaga sosial dan politik, dan sebagainya. dan…

Kelima, aspek kepemimpinan, dalam artian apakah para pemimpin daerah selama ini pula telah mampu melayani masyarakat secara maksimal dengan penuh tanggung jawab dan memenuhi harapan sebagian besar masyarakat. Ukuran-ukuran dalam aspek ini adalah seperti adanya prioritas pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, kebijaksanaan dalam memimpin daerah, pelaksanaan visi dan misi daerah secara maksimal dan komprehensif, dan lain sebagainya. Untuk menilai secara arif kesemua aspek ini memang tidaklah mudah. Dalam realitasnya, ada masyarakat yang merasa mendapatkan perhatian dan ada pula yang kurang mendapat perhatian. Tentunya keadaan seperti ini hanyalah persoalan waktu dimana masyarakat mendapatkan hak-hak mereka dan harapan-harapan mereka dari pemerintah daerah.

Pilkada dan Momentum Demokrasi Langsung di Tingkat Lokal

Saat ini Pilkada memiliki arti penting dalam rangka mengisi tampuk kepemimpinan suatu daerah. Pilihan untuk melaksanakan Pilkada secara langsung mungkin langkah yang tepat untuk memperoleh penyelenggaraan Pilkada secara demokratis berdasarkan UU No. 32/2004. Meski perdebatan cukup kencang mengenai apakah pemilihan secara langsung adalah upaya terbaik untuk mencapai demokratisasi di daerah, namun pilihan untuk menyelenggarakan Pilkada secara langsung juga perlu dihargai. Mengingat pentingnya arti seorang pemimpin bagi masyarakat. Sehingga persoalan like and dislike, populer and unpopuler menjadi tolak ukur yang terpenting bagi masyarakat, selain kemampuan kepala daerah untuk memimpin daerah ini.

Dengan demikian, Pilkada langsung bisa dikatakan pula dikatakan sebagai sebuah momentum bagi penyelenggaraan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Mengapa demikian? Sebetulnya, dalam berbagai pemilihan apapun, masyarakat hanya dihadapkan pada dua pilihan pokok, yakni memilih atau tidak memilih (golput). Dalam menetapkan pilihanpun masyarakat memiliki kebebasan secara mutlak, tanpa paksaan, pengaruh yang berlebihan, dan sebagainya. Tidak memilih sekalipun merupakan sebuah pilihan. Inilah demokrasi (dalam penerjemahan sederhana) yang menyandarkan pertimbangan pada kesadaran orang per orang.

Bagi pemerintahan daerah yang baru terbentuk seperti Propinsi Kepulauan Babel ini, membentuk kesadaran berpolitik masyarakat berdasarkan kaedah berdemokrasi seperti itu bukanlah hal yang mudah. Perlu keterlibatan yang komprehensif dari stakeholders, dan yang lebih penting adalah adanya komitmen yang tinggi dari berbagai elemen masyarakat, parpol, lembaga-lembaga informal masyarakat dan dari pemerintah daerah sendiri.

Pilkada dan Visi Kedaerahan

Dalam visi propinsi disebutkan bahwa visi propinsi adalah terwujudnya Negeri Serumpun Sebalai yang sejahtera melalui pemerintahan yang amanah dengan meningkatkan kualitas masyarakat serta memberdayakan semua potensi daerah secara arif dan berwawasan lingkungan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (selayang pandang perkembangan pembangunan propinsi kep. Babel). Dalam visi ini paling tidak terdapat empat hal pokok yang menjadi pedoman bagi pemerintah propinsi dalam menjalankan pemerintahannya, yakni pertama, mewujudkan daerah yang sejahtera, kedua, mewujudkan pemerintahan yang amanah, ketiga, meningkatkan kualitas masyarakat, dan keempat, memberdayakan semua potensi daerah secara arif dan berwawasan lingkungan.

Agaknya memang terlalu dini untuk menilai bahwa kesejahteraan di Babel telah terwujud. Setidaknya dari data yang dipaparkan Gub. Prop Kep Babel menyebutkan bahwa masih ada lebih dari 130 ribu atau berkisar 12,6% penduduk Babel yang berstatus miskin. Dalam paparan yang sama, pemerintah propinsi telah menempatkan pengentasan kemiskinan ini sebagai prioritas utama pembangunan daerah. Ke depan, ini akan menjadi pekerjaan rumah yang perlu segera dibuatkan langkah konkritnya oleh siapapun nanti yang terpilih menjadi kepala daerah.

Mewujudkan pemerintahan yang amanah merupakan persoalan yang cukup kompleks. Yang terpenting dari perwujudan pemerintahan yang amanah adalah persoalan mentalitas dan komitmen pejabat publik, dan orang-orang yang terlibat langsung dalam pemerintahan di berbagai jenjang jabatan. Pemerintahan yang amanah adalah pemerintahan yang bersih dari KKN, berorientasi pada pelayanan kepada masyarakat, bertanggung jawab dan menunjukkan tauladan yang semestinya sebagai seorang pemimpin masyarakat.

Selanjutnya, untuk meningkatkan kualitas masyarakat haruslah dimulai dari adanya perubahan pola pikir masyarakat itu sendiri. Perubahan hanya bisa diperoleh melalui pendidikan yang memadai. Adalah omong kosong kualitas masyarakat bisa meningkat jika masyarakat tidak berpendidikan. Pendidikan dengan demikian harus betul-betul menjadi perhatian yang utama untuk ditingkatkan.

Saat ini dan kedepan, pemerintah propinsi harus betul-betul arif dalam menentukan dan menetapkan apa-apa yang akan menjadi nilai unggulan daerah. Pemberdayaan semua potensi secara arif dan berwawasan lingkungan adalah sebuah keniscayaan. Selain itu pemerintah propinsi juga harus betul-betul memikirkan aspek jangka panjang dari nilai unggulan tersebut. Apakah akan berdampak positif atau justru negatif bagi keberlangsungan ekonomi daerah dan masyarakat. Yang terpenting dari sebuah pemberdayaan adalah kesinambungan atau keberlanjutan. Sebab propinsi ini dibentuk bukan untuk sementara. Ketegasan, ketepatan dan kebijaksanaan dalam menetapkan kebijakan menjadi mutlak dimiliki oleh pemimpin daerah ini nantinya.

15 Juni 2011

MENAKAR KETERPILIHAN KANDIDAT

Sesuatu yang paling menarik dalam setiap suksesi kepala daerah adalah bagaimana memetakan pola dan perilaku memilih masyarakat yang secara de facto sangat berperan dalam keterpilihan seorang kandidat. Sebab, tak jarang seorang kandidat gagal dalam mengukur pola dan perilaku memilih masyarakat ini. Sepertinya terkesan masyarakat mendukung dirinya. Namun dalam perhitungan akhir justru ternyata hanya sedikit masyarakat yang memilihnya. Kecermatan dalam melihat setiap pergerakan menjadi mutlak dimiliki oleh setiap kandidat maupun oleh tim suksesnya.

Keikutsertaan masyarakat dalam pemkada merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan. Kalau memutuskan memilih, maka mana yang dipilih? Mengapa masyarakat atau pemilih memilih kandidat tertentu dan bukan yang lain? Pertanyaan ini dapat digunakan dengan lima pendekatan, yakni struktural, sosiologis, ekologis, psikologi sosial dan pilihan rasional (Ramlan Surbakti, 1992: 145-146).

Pendekatan struktural melihat kegiatan memilih sebagai produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum (atau pilkada), permasalahan dan program yang ditonjolkan oleh setiap partai. Struktur sosial yang menjadi sumber kemajemukan politik dapat berupa kelas sosial atau perbedaan-perbedaan antara majikan dan pekerja, agama, perberdaan kota dan desa, dan bahasa serta nasionalisme.

Pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Konkretnya, pilihan seseorang dalam pemilihan dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti jenis kelamin, tempat tinggal (kota – desa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan dan agama.

Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaaan karakteristik pemilih berdasarkan unit teritorial seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Kelompok masyarakat seperti tipe penganut agama tertentu, buruh, kelas menengah, mahasiswa, suku tertentu, subkultur tertentu dan profesi tertentu bertempat tinggal pada unit teritorial sehingga perubahan komposisi penduduk yang tinggal di unit teritorial dapat dijadikan sebagai penjelasan atas perubahan hasil pemilihan.

Pendekatan psikologi sosial digunakan untuk menjelaskan perilaku memilih pada pemilihan berupa identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atau partai-partai yang ada atau ketertarikan emosional pemilih terhadap partai atau orang tertentu. Konkretnya partai atau individu yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai atau individu yang selalu dipilih tanpa terpengaruh faktior-faktor lain.

Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih, pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai atau kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak.

Lima pendekatan di atas merupakan suatu model pendekatan yang lazim dalam memproyeksikan bagaimana pola dan perilaku memilih masyarakat. Setiap bentukan politik dan sosial yang terjadi dalam suatu tatanan masyarakat akan memberi pengaruh besar terhadap pola dan perilaku memilih ini. Bagi aktor maupun lembaga politik tentunya pola dan perilaku memilih masyarakat ini akan menjadi cerminan apakah akan membawa keuntungan atau tidak bagi mereka. Perubahan-perubahan akan pola perilaku memilih masyarakat akan sangat mempengaruhi konstelasi politik ke depan.

Rekayasa politik adalah salah satu upaya untuk mempengaruhi keadaan agar lebih menguntungkan secara politis. Banyak cara yang digunakan untuk ini, antara lain misalnya dengan menggiatkan kinerja pada tahun-tahun terakhir bagi mereka yang sudah menjabat (incumbent), atau dengan sering-sering muncul di media massa dan berinteraksi langsung dengan masyarakat bagi yang incumbent maupun bagi pendatang baru (new comer).

Perliku memilih rakyat Indonesia pada dasarnya masih dipengaruhi oleh faktor sosiologi dan psikologi sosial masyarakat. Mengapa? Hal ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut. Pertama, relasi sosial yang dihubungkan dengan ikatan keluarga masih sangatlah kentara. Tentunya, antara keluarga satu dengan lainnya akan saling memberikan dukungan dan bantuan jika ada salah seorang dari anggota keluarga mereka yang akan menjadi calon pemimpin daerah. Nilai yang dianut dalam hal ini adalah kebanggaan dan kehormatan keluarga.

Kedua, relasi sosial yang dihubungkan dengan ikatan etnisitas dan agama juga masih cukup besar. Faktanya bahkan tak jarang “dibuat” agar saling bergesekan dan menimbulkan sentimen politik dan sosial yang tinggi. Agama dan etnis dalam beberapa pengalaman pemkada bahkan sering dijadikan rekayasa politik kotor (black campaign). Berdasarkan hal ini, maka nilai yang dianut oleh masyarakat adalah persamaan keyakinan dan karakter lokal.

Ketiga, relasi sosial yang dihubungkan dengan ikatan emosional berdasarkan persamaan organisasi dan sebagainya. Ikatan emosional merupakan suatu hubungan unik yang penekanannya bukan pada ikatan kekeluargaan, agama maupun etnis, namun lebih pada adanya persamaan emosi atau perasaan senasib sepenanggungan dalam suatu wadah tertentu. Ikatan emosional juga berkembang pada persepsi dan asumsi pada individu-individu tertentu yang memiliki kharisma. Jika ikatan emosional seseorang dengan individu tertentu sudah tinggi, akan sangat memungkinkan bagi seseorang untuk memilih individu tersebut tanpa mempertimbangkan lagi faktor-faktor lainnya.

Keempat, politik uang (money politic). Bukan rahasia lagi bahwa money politic masih menjadi salah satu usaha untuk mempengaruhi perilaku memilih masyarakat. Rasionalitas memilih masyarakat berbanding terbalik dengan usaha yang dilakukan oleh para kandidat kepala daerah dengan mengedarkan sebanyak mungkin uang di masyarakat. Problemnya adalah pada sebagian masyarakat masih menganggap lumrah dengan realita ini. Sehingga, pada akhirnya membuka peluang bagi individu-individu tertentu untuk memanfaatkan celah kelumrahan ini.

14 Juni 2011

MAHASISWA, PEMILU DAN CALEG

Pemberitaan di salah satu Surat Kabar Harian Nasional menyebutkan bahwa ada beberapa aktivis dan mantan aktivis mahasiswa 1998 yang mencalonkan atau dicalonkan sebagai Calon Legislatof (caleg). Beberapa nama aktivis tersebut disebutkan beserta partai politik yang mencalonkannya. Diberitakan pula bahwa sebagian besar mereka adalag caleg jadi. Artinya kemungkinan besar jika parpol yang mencalonkan mereka menang di suatu daerah pemilihan dimana mereka dicalonkan, mereka bisa masuk dalam jajaran elit legislatif.

Tidak ada yang salah dalam pemberitaan tersebut. Setiap warga negara Indonesia berhak berbuat seperti itu. Dan mahasiswa juga warga negara. Oleh karena itu, sebagai mana warga negara lainnya, mahasiswa juga memiliki hak yang sama untuk bisa mencalonkan atau dicalonkan sebagai caleg dari parpol manapun yang mereka kehendaki. Secara pribadi saya menilai bahwa memang diperlukan keterlibatan mahasiswa dalam lembaga legislatif. Hal ini nantinya berkaitan dengan peran mereka sebagai pengontrol kekuasaan dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Saya menilai langkah tersebut cukup efektif dengan menempatkan mahasiswa menjadi bagian dalam lembaga legislatif dan terlibat secara langsung dalam setiap proses pembuatan kebijakan negara. Dengan demikian, maka idealisme perjuangan yaitu memperjuangkan kepentingan rakyat bisa dicapai melalui mekanisme pembuatan kebijakan. Ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi politisi mahasiswa untuk semakin memainkan peranannya ke depan sebagai front terdepan yang mengusung kepentingan masyarakat.

Namun dibalik itu semua, saya melihat ada dampak negatif yang cukup besar yang akan dihadapi politisi mahasiswa sebagai konsekuensi logis dari keterlibatan mereka dalam politik praktis. Kekhawatiran saya bahwa dampak negatif terbesar yang kemungkinan akan dirasakan oleh politisi mahasiswa nantinya adalah terjadinya

Degradasi Idealisme.

Seperti yang kita ketahui, dunia politik praktis adalah dunia hitam putih. Dunia yang memandang semua hal adalah politis, sehingga apabila ada ungkapan semua orang adalah musuh yang harus dilawan, tidak sepenuhnya salah. Dunia politik praktis adalah pragmatis yang hampir semuanya bermuara pada bagaimana caranya seseorang memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Kekhawatirannya adalah mahasiswa belum mampu menghadapi kenyataan-kenyataan politik praktis di parlemen dan belum siap memasuki dunia tersebut, dan saya bisa memastikan bahwa politisi mahasiswa secara tidak sadar akan terseret ke dalam logika dan alur seperti itu. Kalau sudah demikian, maka idealisme-idealisme yang terbangun sejak awal, dengan sendirinya akan terdegradasi dari pikiran dan perjuangan. Kalau begitu, apa bedanya mahasiswa dengan politisi biasa?

Selama ini mahasiswa dikenal dengan gerakannya yang revolusioner dan memperjuangkan hak-hak masyarakat. Semua orang tahu, catatan sejarah gerakan mahasiswa selalu ditulis dengan tinta emas karena gerakannya selalu membawa perubahan yang mendasar. Apakah kemudian terjadinya pergeseran dalam perspektif gerakan mahasiswa dari revolusioner ke sedikit kompromistis akan menorehkan sejarah baru dan juga membawa perubahan mendasar pada kepentingan masyarakat? Saya pribadi menilai pesimis hal tersebut akan terjadi. Terlebih proporsi mahasiswa yang akan duduk di parlemen nantinya tidak terlalu signifikan.

Bila memandang dari sudut kompetensi, kemampuan politisi mahasiswa jelas tidak diragukan. Namun posisi dan signifikansi kedudukan juga menjadi penting untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Saya mengkhawatirkan posisi mahasiswa tidak memiliki pengaruh apapun dalam lembaga dan kedudukannya hanyalah sebagai pelengkap dalam struktur kelembagaan, dan tidak secara fungsional kelembagaan. Statement ini bukanlah tanpa dasar. Dalam banyak kasus, suara mahasiswa yang bermain di luar panggung politik praktis jarang sekali didengarkan, boro-boro disalurkan. Apalagi jika mahasiswa bermain di dalam dan menjadi bagian di dalam sistem, boleh jadi suara mahasiswa hanya dijadikan sekedar ungkapan tanpa makna yang berarti. Di dalam dunia politik praktis tidak ada jaminan hal tersebut mustahil terjadi.

Saya kira, untuk menilai atau mengukur seberapa jauh peluang politisi mahasiswa agar keterlibatannya di parlemen dapat dipandang signifikan bagi suatu perubahan dan perjuangan bagi kepentingan rakyat, dapat dilihat dalam dua indikator. Pertama, tingkat kinerja politisi mahasiswa di lembaga legislatif. Kedua, tingkat dukungan yang diberikan kepada politisi mahasiswa dalam setiap proses pembuatan kebijakan.

Faktor kinerja merupakan satu persoalan yang penting yang perlu mendapat perhatian serius oleh politisi mahasiswa, selain faktor dukungan juga sangat penting sebagai satu persoalan yang lain. Kinerja berarti bagaimana politisi mahasiswa mampu menerapkan cara kerja secara profesional, menghargai segala hal, termasuk kepercayaan yang dibebankan kepada mereka, loyal terhadap pemimpin yang benar, bertanggung jawab, menjalankan fungsi dengan sebaik-baiknya, dan yang terpenting adalah berorientasi pada tujuan ideal, yaitu memperjuangkan kepentingan rakyat. Selain itu, dukungan juga sangat penting sebagai spirit bahwa dalam setiap pembuatan kebijakan yang melibatkan rakyat, mereka tidak berjalan sendiri. Dukungan juga menandakan adanya legitimasi terhadap posisi dan kedudukan politisi mahasiswa di lembaga legislatif.

Saya kira persoalan keterlibatan mahasiswa secara langsung di parlemen berdasarkan kedua indikator ini perlu diperdebatkan. Setidaknya mempertanyakan, pertama, apakah ada jaminan bahwa keterlibatan mahasiswa secara langsung nantinya tidak akan menyeret politisi mahasiswa ke dalam jalur pragmatis, dan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip idealisme perjuangan. Kedua, apakah politisi mahasiswa mampu mengkinerjakan dirinya di tengah-tengah dunia politik praktis yang penuh intrik, manuver, dan tekanan politik. Ketiga, apakah terdapat dukungan politik yang cukup besar atas keterlibatan tersebut, dan apakah dukungan tersebut sudah cukup untuk melegitimasi apapun yang akan dilakukan oleh politisi mahasiswa nantinya dalam konteks pembuatan kebijakan negara. Namun demikian, kita tetap berharap ada sedikit perubahan dari keterlibatan mahasiswa di parlemen nantinya.