10 November 2012

Bicara Demokrasi


Konteks kenegaraan Indonesia belakangan ini sedang mengalami rekonstruksi discourse mengenai ideologi apa yang akan dijadikan lokomotif bagi bangsa Indonesia sebagai penunjuk jalan menuju asa yang ingin diwujudkan, dan bagaimana cara lokomotif tersebut bekerja agar bermanfaat dan mampu membawa bangsa Indonesia menuju cita-cita.

Berbagai varian pilihan dijatuhkan, namun pada akhirnya hanya terdapat satu varian yang dianggap mampu menjadi pijakan bangsa dalam menaungi kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi, demikan banyak manusia menyebutnya, merupakan ideologi yang oleh rezim-rezim yang pernah berkuasa di Indonesia menjadi pegangan, wahana, discourse, lokomotif bahkan sistem dalam menyelenggarakan roda pemerintahan.

Mengapa demokrasi dan mengapa Indonesia perlu melakukan demokratisasi dalam proses politik dan pemerintahan, merupakan pertanyaan-pertanyaan fundemental yang perlu ditelaah lebih mendalam. Proses politik yang diimplementasikan dalam bentuk kebijakan otonomi daerah adalah salah satu yang dicurigai sebagai upaya untuk menguasai sumber daya dan meraup keuntungan dari situ dan menempatkan demokrasi sebagai “tirai” guna menutupi maksud yang sebenarnya. Kecurigaan ini bisa jadi bersifat parsial, akan tetapi tidak ada salahnya kita melacak bagaimana sebetulnya posisi uang dalam upaya demokratisasi yang sedang dilaksanakan.

Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, demokrasi menimbulkan makna yang lebih berarti. Di dalamnya terkandung toleransi, saling menghormati perbedaan dengan tetap berpegang pada prinsip kebebasan. Realitasnya kondisi tersebut sulit diwujudkan. Demokrasi dan demokratisasi hanyalah permainan kata-kata yang dimaknai satu dan seragam, sehingga kecenderungannya malah mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada. Bahkan sebuah kritik tajam dilontarkan bahwa demokrasi hanyalah bagi orang-orang yang tidak atau belum memperoleh kekuasan. Karena ketika orang tersebut mendapatkan kekuasaan, demokrasi dengan sendirinya akan hilang.

Di Indonesia (dan negara-negara berkembang, pada umumnya),  memaknai demokrasi bukan pada ide dasarnya (konsep), melainkan kontroversinya. Artinya di satu sisi ada keinginan kuat untuk melaksanakan demokratisasi dan (biar) dianggap sebagai negara demokratis, namun di sisi lain terjadi kegamangan dalam melakukan demokratisasi itu sendiri. Kegamangan tersebut lebih disebabkan kurang atau tidak memahami prioritas yang seharusnya dijalankan.

Sehingga yang terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia hanya berkutat pada perdebatan apa yang harus diprioritaskan, apakah melakukan pengembangan demokrasi atau pengembangan pada sektor lainnya, seperti ekonomi, politik dan sosial budaya. Ditambah kurangnya Bangsa Indonesia memahami asas-asas demokrasi, makin menyudutkan kita dalam persoalan yang sangat mendasar. Padahal pemahaman yang tepat mengenai asas-asas demokrasi sangat diperlukan dalam masyarakat Indonesia yang plural.

Untuk itu perlu penanaman dan menyuburkan paham dan budaya demokrasi di masyarakat. itu perlu mengingat Bangsa Indonesia adalah majemuk. Dewasa ini paham dan kultur demokrasi hanya sekedar suatu majority’s rule, berasosiasi pada martabat manusia dan hak-hak asasinya. Namun mengabaikan perlunya menciptakan masyarakat yang terbuka (open society). Padahal demokratisasi harus ditopang dengan kuatnya keterbukaan di dalam masyarakat.

Kalau kekuasaan itu diibaratkan sepotong kue, maka kelompok-kelompok kepentingan dan negara mesti membagi kue sebesar porsi yang telah ditentukan, meski porsi tiap kelompok dan negara berbeda. Kecenderungan yang timbul adalah pembagian kue yang sering tidak adil atau tidak berdasarkan porsi yang ada. Di sini prinsip keadilan yang merupakan prinsip dasar demokrasi menjadi tidak nampak. Guna memperoleh keadilan, maka persoalan perlu dikompromikan (prinsip musyawarah).

Demokrasi dalam level makro sering menempatkan negara sebagai sentral, konsekuensinya proses demokratisasi pun dijalankan berdasarkan pemahaman dan pandangan negara terhadap demokrasi itu sendiri. Kondisi ini berkebalikan dengan masyarakat yang menganggap demokrasi dan demokratisasi sebagai tujuan, dan menginginkan prosesnya dijalankan secara benar.

Menanti Kepemimpinan Kaum Muda Indonesia


Survey yang dirilis Lingkaran Survey Indonesia. (LSI) di hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2011 menyebutkan, ¾ dari penduduk Indonesia menyatakan tidak pecaya lagi dengan politisi muda saat ini. Penilaian tersebut didasarkan pada fenomena bahwa politisi muda saat ini sudah kehilangan integritasnya dan terlibat dalam sistem yang korup. Reaksi bermunculan. Ada yang menganggap survey ini sebagai character assassination (Pembunuhan karakter) bagi kaum muda Indonesia dan menjadi penilain yang buruk untuk masa depan Indonesia. Dan ada pula yang menganggap survey ini sebagai pesanan untuk membentuk bandwagon effect bagi politisi tua yang ingin maju menjadi Capres 2014.

Soal persentase boleh jadi bisa debatable. Namun, penilaian rakyat Indonesia terhadap politisi muda yang kelak bakal menjadi pemimpin tentu harus diperhatikan secara seksama. Jika kita tarik benang merah dalam konteks yang lebih luas, apakah pemuda Indonesia memang sudah mengalami degradasi kepemimpinan sebegitu besar sehingga tidak bisa lagi dipercaya? Mungkin ini yang perlu digugat kebenarannya.

Dari berbagai survey bakal Capres 2014, yang muncul dengan persentase tertinggi mayoritas masih dihuni oleh mereka yang sudah senior dan politisi generasi usia 60an tahun. Nama-nama seperti Megawati, Yusuf Kalla, Aburizal Bakri, Prabowo Subianto, Hidayat Nur Wahid dan Wiranto, masih menjadi unggulan. Nama lain yang muncul namun masih dalam kategori berusia 50an tahun seperti Ani Yudhoyono dan Sri Mulyani. Dengan gambaran ini timbul pertanyaan, apakah memang sudah tidak ada yang layak dari pemuda Indonesia dalam generasi usia 40an dan 30an tahun untuk memimpin? Atau kah jangan-jangan kaum muda pada usia tersebut tidak diinput sebagai entitas atau subjek survey? Wallahua’alam. Capres toh masih lama. Masih cukup waktu untuk membentuk peluang bagi kaum muda untuk tampil ke kancah kepemimpinan negara.

Bagaimana dengan konteks kepemimpinan muda daerah? Apakah peluang bagi kepemimpinan muda dalam politik lokal cukup besar? Ataukah politik lokal juga masih didominasi oleh para politisi senior? Kemungkinan itu tetap masih ada, bukan? Terpenting adalah bagaimana calon pemimpin muda ini mampu menampilkan kepemimpinannya dan mengintegrasikan pemikirannya dalam tindakan dan karya nyata di masyarakat.

Melihat dari proses politik yang terjadi saat  ini, nampaknya banyak pemimpin yang digadang-gadang akan maju cenderung variatif, berasal dari generasi senior dan muda. Namun apakah ini akan menjadi satu perhelatan yang cukup sengit dengan dikotomi seperti ini? Agaknya memang tidak perlu menerka-nerka. Sebab, yang pasti adalah sebuah keharusan bagi kaum muda. Dengan kondisi saat ini dan proyeksi kebijakan yang bisa jadi muncul dari pemerintahan sekarang, diperlukan sebuah pemikiran dan dobrakan besar untuk bisa menjaga dinamika dan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Wajah-wajah lama dianggap sudah terkontaminasi dalam sistem yang lama. Maka, selayaknya wajah-wajah baru tampil untuk merubah kondisi tersebut.

Daerah ini membutuhkan leader, bukan penguasa. Dan progresivitas kepemimpinan dibutuhkan untuk merubah keadaan daerah saat ini, setuju? Jika generasi senior tak mampu menjalankan, maka sepatasnya generasi muda menggantikan. Ini adalah realitas yang mau tidak mau harus dijalani. Yang penting dukungan sosial masyarakat ada, integritas moral dan perilaku dijaga, dan berani untuk tampil maju menjadi pemimpin, bukan hanya menjadi pemimpi. Bagaimanapun, faktor usia juga menjadi penting dalam membangun karakter kepemimpinan yang ada. Karena itu, untuk kepemimpinan Padang nanti perlu gebrakan dari pemimpin muda untuk tampil membenahi Kota Padang yang lebih baik. Mengapa? Karena selain faktor usia yang cenderung muda, soal pemikiran dan pengalaman dalam politik lokal sudah cukup bisa mengantarkan generasi ini untuk tampil maju kedepan dan meraih tampuk kepemimpinan daerah.

Gairah serta semangat untuk berani maju kedepanlah yang perlu dibangkitkan lagi oleh pemuda daerah saat ini. Peluang itu harus diciptakan sendiri. Jika tidak, selamanya daerah dan bahkan negara ini akan kehilangan kaum muda yang memiliki potensi menjadi pemimpin.

Korupsi, Politik dan Etika Kekuasaan


Korupsi telah menjadi denyut nadi dan nafas kehidupan negeri ini, sehingga tidak heran jika popularitas bangsa ini tetap bertahan sebagai bangsa yang terkorup di dunia. Bagaimana tidak, bahwa setiap dimensi sosial telah menjadi ruang terbuka manifestasi serta implementasi dari praktik busuk ini. Korupsi bukan menjadi monopoli bagi penguasa di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif melainkan telah berubah ke arah milik publik secara luas. Dengan kepemilikan secara meluas tersebut membuat korupsi mendapat legalisasi dari masyarakat sehingga upaya pemberantasannya mengalami hambatan dan kesulitan.

Manifestasi dan implementsi dari korupsi dapat dikatakan menyentuh pada dua hal pertama, korupsi berkaitan dengan penyalahgunaan atau penyimpangan wewenang dan kekuasaan oleh aparat pengambil kebijakan dan kedua melibatkan pengutamaan publik menjadi kepentingan pribadi. Dari integrasi parameter tersebut, korupsi memberikan definisi yang luas. Ketika setiap usaha yang berkaitan dengan urusan publik namun terdapat kepentingan dibaliknya yang menyimpan kepentingan dan keuntungan pribadi maka itu dapat dikategorikan sebagai perilaku korupsi.

Sementara itu, upaya pembebasan ruang sosial dari belenggu korupsi sendiri menghadapi berbagai ujian dan tantangan. Sehingga mengapa, masa depan dari pemberantasan mengalami sedikit kebuntuan. Berangkat dari penegakan hukum yang lemah dan tak jarang hukum justru memihak sekaligus cenderung partisan terhadap para koruptor serta kelompok tertentu. Aparat penegak hukum pun bermain mata dengan koruptor. Sudah jamak bahwa lembaga yudikatif menjadi tempat jual beli, banyak berkeliaran para mafia peradilan yang menjual produk hukum. Hal ini kemudian membuat usaha pemberantasan korupsi mengalami dilematisasi. Apalagi belum adanya good will dari pemerintah?

Track record penanganan korupsi sejak awal reformasi hingga sekarang, sudah berapa banyak para koruptor yang tersenyum penuh kemenangan karena pengadilan dengan memutuskan perkara serta tindakannya dengan putusan bebas atau keringan hukuman. Maka, tak ayal masyarakat menjadi pesimis dan cenderung tidak lagi percaya pada lembaga-lembaga negara. Ini tentu pekerjaan penting yang harus terus menerus diperbaiki.
Begitu juga dengan sikap masyarakat yang cenderung ada pemakluman terhadap fenomena sosial ini. Bahwa hal tersebut sudah menjadi hal yang normal dalam sisi kehidupan masyarakat. Tengoklah seberapa besar peran masyarakat dalam melakukan hambatan dalam penanggulangan penyakit korupsi ini. Tindakan yang nyata bahkan tidak kelihatan sama sekali. Akibatnya, korupsi telah berubah menjadi semacam budaya yang berkembang dalam masyarakat, terbentuk akulturasi di sana.

Etika Politik dan Kekuasaan
Politik praktis merupakan pertarungan kekuatan dan pengaruh. Etika politik dianggap dunia ideal yang tidak mencerminkan realitas politik yang keras dan kerenanya sering terabaikan. Tak banyak orang yang mampu mengkedepankan etika dalam berpolitik, kecuali sebatas pada wacana semata. Etika politik tidak hanya mengatur perilaku politikus, namun juga mengatur segala institusi yang ada didalamnya. Etika politik mengandung aspek individual dan sosial. Aspek individual karena membahas masalah kualitas moral pelaku politik, sementara aspek sosial karena mereflekskan masalah hukum, tatanan sosial dan institusi yang adil (Haryatmoko,2003:25).

Bernhard Sutor menambahkan bahwa etika politik memiliki tiga dimensi yakni tujuan politik, sarana dan pilihan politik itu sendiri. Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat, dimensi sarana meliputi sistem dan prinsip-prinsip dasar pengorganisasian lembaga sosial dan politik, dan dimensi aksi politik menyangkut tentang rasionalitas dalam berpolitik.

Dengan demikian, etika politik sebetulnya lebih mengacu pada nilai dan cara pandang seseorang dalam berpolitik. Sederhananya, nilai ini pulalah yang kemudian memberikan batasan tentang apa yang etis dan tidak etis dilakukan, dan memberikan stimulus bagi perilaku politik.

Hakekatnya, politik praktis adalah cara untuk memperoleh kekuasaan, dan kekuasaan bisa saja diperoleh dengan cara yang legitimate maupun dengan kekerasan. Namun, kedua cara tersebut akan sangat dipengaruhi pada besar kecilnya dukungan masyarakat. Dukungan menjadi inspirasi paling utama untuk memperoleh kekuasaan, dan tanpa itu kekuasaan hanya menjadi status belaka. Dan ketika etika politik tidak menjadi landasan penting, maka tidak ada jaminan kekuasaan yang diperoleh akan dijalankan dengan sebaik-baiknya.

Pemikiran diatas memberikan suatu pertimbangan bahwa apakah dualisme pencalonan (sebagai calon kepala/wakil kepala daerah dan calon legislatif) tidak bertentangan dengan etika politik? Perlu dipertanyakan pula bagaimana orang-orang seperti ini memandang politik itu sendiri, apakah dipandang sebagai cara untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, atau sebagai lembaga profesi layaknya perusahaan?

Permasalahan korupsi tidak hanya berbentuk tunggal melainkan ada keterlibatan baik secara struktural maupun kultural. Struktural karena berhubungan dengan lingkaran kekuasaan dan juga faktor pendukung legal dari kekuasaan tersebut, yaitu partai politik. Bila melakukan runutan maka peran dari partai politik dalam melanggengkan korupsi memiliki signifikansi yang penting. Mengapa, karena para penguasa yang duduk di lingkaran kekuasaan itu terpilih lewat partai politik melalui mekanisme pemilu. Sehingga korelasi yang terbangun menjelaskan ada keterkaitan parpol dengan melestarikan budaya korupsi di tingkatan para elit. Pertanyaannya bagaimana menjelaskan fenomena ini?

Seperti yang kita pahami selama ini, pemilu merupakan prosedur pemilihan untuk memilih wakil yang menjabat di level birokrasi atau eksekutif maupun legislatif. Dari proses itu, terpilih elit politik yang kemudian akan menjalankan tata pemerintahan. Namun kenyataannya, dalam menjalankan amanah rakyat banyak terjadi penyimpanan di lingkup mereka. Seperti penggelapan uang rakyat, korupsi, money politic. Sehingga sistem yang ada hanya digunakan untuk melegitimasi penyimpangan yang dilakukan. Suap, money politic merupakan jalan sukses menuju kekuasaan, dan jelas pada saat memegang kekuasaan nantinya akan mencari ganti pengeluaran yang pernah digunakan Logikanya, seperti orang berdagang bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan kemudian mencari untung untuk melanjutkan usahanya sekaligus memperkaya diri.