18 Februari 2009

Polemik Pemberlakuan Zipper System

Polemik atas keputusan KPU memberlakukan zipper system belakangan ini semakin mengemuka. Terdapat dikotomi wacana yang berkembang mengenai perlu tidaknya memberlakukan sistem tersebut, yakni antara yang sepakat agar itu memang sepantasnya diberlakukan mengingat dan mereka yang kurang sepakat dengan pertimbangan tertentu. Pemberlakuan zipper system sebetulnya lebih didasarkan pada faktor keterwakilan perempuan di parlemen yang secara de jure ditegaskan dalam UU Pemilu No. 10 Tahun 2008 bahwa partai politik peserta Pemilu wajib menyertakan keterlibatan perempuan dalam pencalonan legislatif minimal 30%. Dengan ketentuan ini pula maka, KPU memberlakukan zipper system dengan maksud agar keterwakilan perempuan diparlemen betul-betul terlaksana, tidak hanya sekedar mengisi daftar caleg yang diusung oleh partai politik.

Dalam pengertian yang sederhana, zipper system merupakan sebuah mekanisme penentuan calon jadi yang "memberikan" peluang lain keterwakilan bagi individu politik yang telah ditetapkan oleh UU. Dalam hal ini UU mensyaratkan 30% keterwakilan perempuan di parlemen. Ini artinya, jika pada suatu daerah pemilihan (dapil) memiliki 3 caleg yang memenangi suara terbanyak, maka salah satunya harus diberikan kepada caleg perempuan yang memperoleh suara terbanyak. Dengan kata lain, dalam 3 calon yang mendapatkan kursi parlemen, maka salah satunya wajib diberikan kepada perempuan.

Sekilas, kondisi ini memberikan rasa keadilan dan ketaatan dalam memenuhi ketentuan perundang-undangan. Namun, pada sisi yang berbeda ini menimbulkan permasalahn yang cukup krusial mengenai pemberlakuan itu sendiri. Sebagai sebuah entitas politik, perempuan merupakan masyarakat politik yang memiliki porsi terbesar dalam keikutsertaan memberikan hak suara di setiap Pemilu yang diselenggarakan, yakni lebih dari 53 persen. Sementara tingkat keterwakilan mereka di parlemen tak lebih dari 12 persen pada Pemilu 2004 lalu, dan 9 persen pada Pemilu sebelumnya. Hal ini jelas sangat jomplang atau tidak seimbang antara keterlibatan memberikan hak suara dengan keterlibatan mereka di parlemen. Akan tetapi di sisi lain, pemberlakuan zipper system sendiri sebetulnya menggugurkan kehendak suara rakyat yang secara sadar menjatuhkan pilihan pada caleg tertentu, tanpa memandang perbedaan gender.

Hal ini jelas lagi akan semakin memperuncing keadaan dimana seseorang yang telah memperoleh kemenangan dan karena pemberlakuan zipper system harus "sukarela" memberikannya pada salah seorang perempuan, tentu akan berpikir panjang dan tidak menutup kemungkinan akan mempertahankan kemenangannya. Jika menyandarkan pada aturan main tentu hal ini wajib dilaksanakan. Namun, apakah setiap orang yang menjadi caleg mampu menyerahkannya begitu saja ketika dirinya memperoleh suara terbanyak dan berpeluang besar mendapatkan salah satu kursi di parlemen. Tentu KPU harus mempertimbangkan sisi psikologis seperti ini.

Di lain sisi, pemberlakuan zipper system sebetulnya juga menciderai nilai-nilai demokrasi yang dijalankan dalam Pemilu. Kecacatannya terletak pada pengejawantahan hak-hak warga negara dalam menentukan pilihan secara sadar dan rasional. Pihak Perempuan dalam hal ini hanya lebih didasarkan dari segi kuantitasnya saja, dan mengesampingkan kualitas yang dimiliki. Sebab yang lebih dipentingkan adalah upaya untuk memenuhi ketentuan 30% keterwakilan perempuan di parlemen. Saya jadi berpikir, jika KPU ingin menerapkan ini secara benar, mengapa tidak diberlakukan saja sistem dua gender, Pemilu untuk laki-laki dan Pemilu untuk perempuan. Dengan begitu akan didapat perempuan yang akan menduduki kursi di parlemen berdasarkan ketentuan yang telah dibuat tanpa mengesampingkan individu-individu yang betul-betul dipilih rakyat.

Hal ini juga perlu menjadi catatan tersendiri bagi perempuan Indonesia, khususnya bagi mereka yang mencalonkan dirinya sebagai caleg pada Pemilu 2009 bahwa mereka sama halnya dengan caleg lain yang berjenis kelamin laki-laki, harus bekerja keras agar mereka mendapatkan suara rakyat secara murni dan proporsional, dan bukan berdasarkan adanya pemberlakuan zipper system. Perempuan Indonesia harus mampu menunjukkan jati dirinya sebagai individu yang berkapasitas dan berkualitas tinggi. Dengan begitu, porsi suara terbesar perempuan akan betul-betul terwakili oleh kaum perempuan itu sendiri.

Tidak ada komentar: