KITA DAN DUNIA MARI BERBAGI
Manusia Biasa yang Ingin Berbagi Pemikiran dan Karya
10 November 2012
Bicara Demokrasi
Menanti Kepemimpinan Kaum Muda Indonesia
Korupsi, Politik dan Etika Kekuasaan
29 Mei 2012
Menilai Peluang Kaum Muda di Kontestasi Kepemimpinan Belitung 2013
Tergelitik untuk menulis bagaimana peluang pemuda Belitung yang ingin maju sebagai bakal calon kepala daerah Belitung di 2013 nanti, yang didasarkan pada situasi politik yang berjalan saat ini dan konsepsi keilmuan yang memandang kondisi dan situasi tersebut. Apakah yang muda punya cukup peluang untuk terpilih dibandingkan dengan mereka yang sudah tua dan berpengalaman dalam politik serta menguasai trik dan intrik politik di Belitung? Jawaban singkatnya, kenapa tidak? peluang tetap ada dan sama. yang membedakan hanya pada persoalan strategi dan konsolidasi modal sosial yang dimiliki dan modal finansial yang cukup.
Jika dilihat, mereka yang banyak beredar di media dan di masyarakat saat ini adalah mereka yang dalam kategori usia yang sudah tak lagi muda dan sudah malang melintang di percaturan politik Belitung cukup lama. Mereka sering disebut "muka lama" yang dalam periodeisasi pemilu dan suksesi kepemimpinan Belitung hampir selalu ikut ambil bagian.
Ini bukan berarti menegasikan bahwa mereka yang sudah tidak muda ini tidak boleh berpartisipasi lagi dalam suksesi kepemimpinan belitung 2013 nanti. Tetapi ini dalam konteks memberikan gambaran bahwa inisiasi dari sebuah proses 5 tahunan ini masih memunculkan muka lama dan menciptakan tantangan baru terutama kaum muda untuk turut berpartisipasi dan berkompetisi.
Jika memang setiap orang memiliki peluang yang sama, maka bagaimana peluang kaum muda belitung dapat memunculkan keunggulan dan meraih kemenangan? jawabannya ada di nilai kepribadian, pemikiran dan kontestasi yang kompetitif. Keseluruhan konteks ini bermuara kepada:
pertama, kebersihan niat dan komitmen untuk menjaga amanah kepemimpinan dengan memandang jabatan bupati bukanlah yang sosok yang dilayani tetapi melayani rakyat. Dan ini tidak mudah mengingat godaan kekuasaan terkadang jauh lebih kuat dan tak mengenal lelah.
Kedua, intimasi dengan masyarakat belitung secara keseluruhan. Hal ini mengacu kepada frekuensi dan intensitas kedekatan dengan masyarakat yang tak jarang pula menjadi tolak ukur bagi kekuatan modal sosial. Menciptakan kedekatan ini jelas membutuhkan proses. Dan pastinya juga tak hanya berusaha intensif di waktu menjelang pemilihan, tetapi dilakukan secara kontinyu. Jika pada waktunya kedekatan dan intimasi ini berlangsung, maka ini sudah menjadi sebuah keunggulan yang dapat dijadikan sebagai modal sosial untuk turut berkontestasi.
Ketiga, keunggulan strategi yang mengarah kepada infiltrasi konsepsi, visi dan misi serta nilai kebutuhan masyarakat. Yang perlu diingat adalah bagaimana strategi yang diciptakan dan dijalankan haruslah menjawab masalah yang dihadapi masyarakat, dan tidak terjebak dalam problematika politik "murahan" seperti money politik.
Keempat, ketercukupan modal finansial yang tidak berpotensi sebagai alat untuk membeli suara, tetapi untuk menjalankan mesin politik yang dibentuk. Dikatakan "cukup" ini memang terdengar sumir, namun konteksnya adalah politik tetap membutuhkan modal finansial dan modal ini dipandang sebagai alat beroperasi bukan alat kontraprestasi. Artinya, modal finansial bukanlah instrumen utama tetapi harus dipandang sebagai instrumen pendukung. Sebab, jika dipandang sebagai instrumen utama, maka finansial ini pula yang akan menjadi motivasi utama ketika sudah memperoleh kemenangan.
Kelima, nilai jual yang memadai dimana nilai ini bukan bersandar pada politik transaksional (berupa barang dan uang), tetapi bersandar pada bangunan pemikiran dan kepribadian diri yang kemudian memunculkan harapan baru bagi masyarakat. Penekanan pentingnya adalah bagaimana kaum muda ini bisa menginterpretasikan kebutuhan masyarakat, harapan masyarakat, dan masalah yang dihadapi masyarakat ke dalam pengejawantahan dirinya sebagai seseorang yang diyakini mampu menjadi solusi atas semua itu.
Sudah saatnya kaum muda bicara dan berkompetisi untuk melakukan perubahan Belitung yang lebih dinamis dan progresif. Tinggal kita, masyarakat, yang menentukan sikap, siapakah yang pantas?
26 Oktober 2011
POLITIKKU BERAT DIONGKOS
Nama-nama calon sudah mulai bermunculan, namun itu tak penting. Yang penting – idealnya – siapapun calon yang terpilih bisa menjalankan amanah rakyat yang telah memilihnya. Alangkah indahnya jika kondisi ideal tersebut bisa tercapai. Namun, faktanya tidak. Masyarakat “dipaksa” menghadapi dilema kekuasaan yang menyeret mereka pada sebuah keinginan besar sang calon, yakni MENANG walau terkadang (jika tak dikatakan selalu) dilakukan dengan cara yang tidak bersih.
Pilkada memang tidak murah. Untuk pelaksanaannya, bahkan, suatu pemerintah daerah harus mengeluarkan biaya hingga ratusan milyar tergantung seberapa luas dan seberapa banyak penduduk yang memiliki hak pilih. Itu belum ditambah dengan biaya “sukses” yang dikeluarkan oleh para calon untuk pemenangannya. Mulai dari membayar MAHAR ke partai sebagai kendaraan politik atau untuk fotokopi KTP bagi calon independen, membiayai tim sukses, membiayai konsultan pemenangan, membiayai atribut kampanye, bayar artis, bikin konser, hingga jika perlu untuk melaksanakan serangan fajar menjelang pemilihan. Ntah berapa milyar uang yang harus disiapkan guna mampu mendanai semua itu.
Sekali lagi mari kita berhitung angka, adakah sebanding angka yang dikeluarkan sebagai cost politik dengan penghasilan gubernur ketika terpilih? Namun, saya disini bicara yang idealnya saja dulu. Untuk kita ketahui, take home pay (gaji plus tunjangan) seorang gubernur hanyalah 8 juta perbulan. Sebuah angka yang kecil bukan? Jika setahun, maka insentif yang dibawanya sebesar 96 juta. DAlam satu periode itu berarti seorang gubernur hanya membawa insentif sebesar 480 juta. Sebandingkah dengan biaya pencalonannya sebagai kepala daerah?
Untuk maharnya saja, seorang calon dikabarkan diwajibkan menyetor hingga belasan milyar. Belum ditambah dengan biaya untuk menyiapkan kesuksesan dirinya, yang bisa hingga puluhan milyar juga. Terbayangkah oleh kita, jika bukan karena seorang calon adalah orang kaya raya, mampukah dia untuk menyalonkan diri? Bahkan walau sekalipun dirinya adalah seorang incumbent yang menjalankan jabatan dengan “ideal”, saya kira kita sudah bisa lihat perbandingannya tak mampulah dia membiayai pencalonannya meski seluruh uang diperiodenya tersebut dikumpulkan.
Mari kita berpikir kritis. Dalam hukum ekonomi positif, biaya yang dikeluarkan harus sebanding dengan yang diperoleh plus margin sebagai keuntungan. Jika saya mengeluarkan uang 100 juta, maka bagaimanpun saya harus bisa memperoleh kembali uang 100 juta tersebut plus margin keuntungan dari biaya yang dikeluarkan. Jika hukum ekonomi ini “seandainya” diterapkan dalam sebuah jabatan kepala daerah, apa yang terjadi? Yang terjadi adalah hampir dipastikan segala kebijakan akan diarahkan untuk membuka dan memuluskan jalan memperoleh kembali biaya yang sudah dikeluarkan plus margin sebagai keuntungan. Dan mereka yang sudah turut serta “membantu” mendanai di saat pencalonan akan diberis reward sebagai kompensasi bantuan tersebut.
Jelas, ada yang dikorbankan. Siapa? Rakyat tentunya.
Melalui revisi UU Pemerintahan Daerah yang saat ini masih digodok di lembaga perwakilan rakyat, pemilihan gubernur diwacanakan akan dikembalikan seperti era orde baru, yakni dipilih secara tidak langsung atau dipilih oleh anggota DPRD Provinsi. Pemerintah beralasan pada tiga hal pokok, yakni 1). Political cost (biaya politik) pemilihan gubernur sangatlah tinggi dikarenakan mencakup luas wilayah yang sangat besar. Dan ini dianggap dapat membenani anggaran daerah dan juga pusat untuk membiayainya. 2). Gubernur hanyalah kepanjangan tangan pemerintah pusat yang hanya memiliki kewenangan melaksanakan koordinasi dan menjalankan kebijakan pemerintah pusat di daerah. Karena itu, pemerintah menilai gubernur tak perlu dipilih langsung. Cukup dipilih oleh lembaga perwakilan rakyat daerah saja. Dan 3). Jabatan Gubernur hanyalah jabatan yang bersifat administratif, dan bukan politis. Sehingga, gubernur dianggap tidak memiliki kewenangan lebih dalam menetapkan kebijakan-kebijakan strategis.
Namun, wacana ini tentu perlu pemikiran dan penilaian lebih lanjut untuk memastikan bahwa hak-hak rakyat tetap bisa terpenuhi dan yang lebih penting lagi adalah mampu menjalankan amanah dan menetapkan kebijakan secara baik dan benar.
Kita menjelang pemilihan gubernur ini semestinya sudah harus berpikir dan bersikap kritis dengan berefleksi pada kondisi dan situasi bagaimana keberlangsungan provinsi ini dalam kurun waktu 10 tahun ke belakang. Rasa-rasanya, kita membutuhkan penyegaran yang lebih memberikan semangat dan pencerdasan akan masa depan Babel yang lebih baik. Bukan hanya sekedar penyegaran sistem dan kondisi daerah, namun jika memungkinkan perlu penyegaran dalam sisi kepemimpinan. Maka dari itu, memilihlah dengan bijak.