10 November 2012

Bicara Demokrasi


Konteks kenegaraan Indonesia belakangan ini sedang mengalami rekonstruksi discourse mengenai ideologi apa yang akan dijadikan lokomotif bagi bangsa Indonesia sebagai penunjuk jalan menuju asa yang ingin diwujudkan, dan bagaimana cara lokomotif tersebut bekerja agar bermanfaat dan mampu membawa bangsa Indonesia menuju cita-cita.

Berbagai varian pilihan dijatuhkan, namun pada akhirnya hanya terdapat satu varian yang dianggap mampu menjadi pijakan bangsa dalam menaungi kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi, demikan banyak manusia menyebutnya, merupakan ideologi yang oleh rezim-rezim yang pernah berkuasa di Indonesia menjadi pegangan, wahana, discourse, lokomotif bahkan sistem dalam menyelenggarakan roda pemerintahan.

Mengapa demokrasi dan mengapa Indonesia perlu melakukan demokratisasi dalam proses politik dan pemerintahan, merupakan pertanyaan-pertanyaan fundemental yang perlu ditelaah lebih mendalam. Proses politik yang diimplementasikan dalam bentuk kebijakan otonomi daerah adalah salah satu yang dicurigai sebagai upaya untuk menguasai sumber daya dan meraup keuntungan dari situ dan menempatkan demokrasi sebagai “tirai” guna menutupi maksud yang sebenarnya. Kecurigaan ini bisa jadi bersifat parsial, akan tetapi tidak ada salahnya kita melacak bagaimana sebetulnya posisi uang dalam upaya demokratisasi yang sedang dilaksanakan.

Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, demokrasi menimbulkan makna yang lebih berarti. Di dalamnya terkandung toleransi, saling menghormati perbedaan dengan tetap berpegang pada prinsip kebebasan. Realitasnya kondisi tersebut sulit diwujudkan. Demokrasi dan demokratisasi hanyalah permainan kata-kata yang dimaknai satu dan seragam, sehingga kecenderungannya malah mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada. Bahkan sebuah kritik tajam dilontarkan bahwa demokrasi hanyalah bagi orang-orang yang tidak atau belum memperoleh kekuasan. Karena ketika orang tersebut mendapatkan kekuasaan, demokrasi dengan sendirinya akan hilang.

Di Indonesia (dan negara-negara berkembang, pada umumnya),  memaknai demokrasi bukan pada ide dasarnya (konsep), melainkan kontroversinya. Artinya di satu sisi ada keinginan kuat untuk melaksanakan demokratisasi dan (biar) dianggap sebagai negara demokratis, namun di sisi lain terjadi kegamangan dalam melakukan demokratisasi itu sendiri. Kegamangan tersebut lebih disebabkan kurang atau tidak memahami prioritas yang seharusnya dijalankan.

Sehingga yang terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia hanya berkutat pada perdebatan apa yang harus diprioritaskan, apakah melakukan pengembangan demokrasi atau pengembangan pada sektor lainnya, seperti ekonomi, politik dan sosial budaya. Ditambah kurangnya Bangsa Indonesia memahami asas-asas demokrasi, makin menyudutkan kita dalam persoalan yang sangat mendasar. Padahal pemahaman yang tepat mengenai asas-asas demokrasi sangat diperlukan dalam masyarakat Indonesia yang plural.

Untuk itu perlu penanaman dan menyuburkan paham dan budaya demokrasi di masyarakat. itu perlu mengingat Bangsa Indonesia adalah majemuk. Dewasa ini paham dan kultur demokrasi hanya sekedar suatu majority’s rule, berasosiasi pada martabat manusia dan hak-hak asasinya. Namun mengabaikan perlunya menciptakan masyarakat yang terbuka (open society). Padahal demokratisasi harus ditopang dengan kuatnya keterbukaan di dalam masyarakat.

Kalau kekuasaan itu diibaratkan sepotong kue, maka kelompok-kelompok kepentingan dan negara mesti membagi kue sebesar porsi yang telah ditentukan, meski porsi tiap kelompok dan negara berbeda. Kecenderungan yang timbul adalah pembagian kue yang sering tidak adil atau tidak berdasarkan porsi yang ada. Di sini prinsip keadilan yang merupakan prinsip dasar demokrasi menjadi tidak nampak. Guna memperoleh keadilan, maka persoalan perlu dikompromikan (prinsip musyawarah).

Demokrasi dalam level makro sering menempatkan negara sebagai sentral, konsekuensinya proses demokratisasi pun dijalankan berdasarkan pemahaman dan pandangan negara terhadap demokrasi itu sendiri. Kondisi ini berkebalikan dengan masyarakat yang menganggap demokrasi dan demokratisasi sebagai tujuan, dan menginginkan prosesnya dijalankan secara benar.

Menanti Kepemimpinan Kaum Muda Indonesia


Survey yang dirilis Lingkaran Survey Indonesia. (LSI) di hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2011 menyebutkan, ¾ dari penduduk Indonesia menyatakan tidak pecaya lagi dengan politisi muda saat ini. Penilaian tersebut didasarkan pada fenomena bahwa politisi muda saat ini sudah kehilangan integritasnya dan terlibat dalam sistem yang korup. Reaksi bermunculan. Ada yang menganggap survey ini sebagai character assassination (Pembunuhan karakter) bagi kaum muda Indonesia dan menjadi penilain yang buruk untuk masa depan Indonesia. Dan ada pula yang menganggap survey ini sebagai pesanan untuk membentuk bandwagon effect bagi politisi tua yang ingin maju menjadi Capres 2014.

Soal persentase boleh jadi bisa debatable. Namun, penilaian rakyat Indonesia terhadap politisi muda yang kelak bakal menjadi pemimpin tentu harus diperhatikan secara seksama. Jika kita tarik benang merah dalam konteks yang lebih luas, apakah pemuda Indonesia memang sudah mengalami degradasi kepemimpinan sebegitu besar sehingga tidak bisa lagi dipercaya? Mungkin ini yang perlu digugat kebenarannya.

Dari berbagai survey bakal Capres 2014, yang muncul dengan persentase tertinggi mayoritas masih dihuni oleh mereka yang sudah senior dan politisi generasi usia 60an tahun. Nama-nama seperti Megawati, Yusuf Kalla, Aburizal Bakri, Prabowo Subianto, Hidayat Nur Wahid dan Wiranto, masih menjadi unggulan. Nama lain yang muncul namun masih dalam kategori berusia 50an tahun seperti Ani Yudhoyono dan Sri Mulyani. Dengan gambaran ini timbul pertanyaan, apakah memang sudah tidak ada yang layak dari pemuda Indonesia dalam generasi usia 40an dan 30an tahun untuk memimpin? Atau kah jangan-jangan kaum muda pada usia tersebut tidak diinput sebagai entitas atau subjek survey? Wallahua’alam. Capres toh masih lama. Masih cukup waktu untuk membentuk peluang bagi kaum muda untuk tampil ke kancah kepemimpinan negara.

Bagaimana dengan konteks kepemimpinan muda daerah? Apakah peluang bagi kepemimpinan muda dalam politik lokal cukup besar? Ataukah politik lokal juga masih didominasi oleh para politisi senior? Kemungkinan itu tetap masih ada, bukan? Terpenting adalah bagaimana calon pemimpin muda ini mampu menampilkan kepemimpinannya dan mengintegrasikan pemikirannya dalam tindakan dan karya nyata di masyarakat.

Melihat dari proses politik yang terjadi saat  ini, nampaknya banyak pemimpin yang digadang-gadang akan maju cenderung variatif, berasal dari generasi senior dan muda. Namun apakah ini akan menjadi satu perhelatan yang cukup sengit dengan dikotomi seperti ini? Agaknya memang tidak perlu menerka-nerka. Sebab, yang pasti adalah sebuah keharusan bagi kaum muda. Dengan kondisi saat ini dan proyeksi kebijakan yang bisa jadi muncul dari pemerintahan sekarang, diperlukan sebuah pemikiran dan dobrakan besar untuk bisa menjaga dinamika dan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Wajah-wajah lama dianggap sudah terkontaminasi dalam sistem yang lama. Maka, selayaknya wajah-wajah baru tampil untuk merubah kondisi tersebut.

Daerah ini membutuhkan leader, bukan penguasa. Dan progresivitas kepemimpinan dibutuhkan untuk merubah keadaan daerah saat ini, setuju? Jika generasi senior tak mampu menjalankan, maka sepatasnya generasi muda menggantikan. Ini adalah realitas yang mau tidak mau harus dijalani. Yang penting dukungan sosial masyarakat ada, integritas moral dan perilaku dijaga, dan berani untuk tampil maju menjadi pemimpin, bukan hanya menjadi pemimpi. Bagaimanapun, faktor usia juga menjadi penting dalam membangun karakter kepemimpinan yang ada. Karena itu, untuk kepemimpinan Padang nanti perlu gebrakan dari pemimpin muda untuk tampil membenahi Kota Padang yang lebih baik. Mengapa? Karena selain faktor usia yang cenderung muda, soal pemikiran dan pengalaman dalam politik lokal sudah cukup bisa mengantarkan generasi ini untuk tampil maju kedepan dan meraih tampuk kepemimpinan daerah.

Gairah serta semangat untuk berani maju kedepanlah yang perlu dibangkitkan lagi oleh pemuda daerah saat ini. Peluang itu harus diciptakan sendiri. Jika tidak, selamanya daerah dan bahkan negara ini akan kehilangan kaum muda yang memiliki potensi menjadi pemimpin.

Korupsi, Politik dan Etika Kekuasaan


Korupsi telah menjadi denyut nadi dan nafas kehidupan negeri ini, sehingga tidak heran jika popularitas bangsa ini tetap bertahan sebagai bangsa yang terkorup di dunia. Bagaimana tidak, bahwa setiap dimensi sosial telah menjadi ruang terbuka manifestasi serta implementasi dari praktik busuk ini. Korupsi bukan menjadi monopoli bagi penguasa di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif melainkan telah berubah ke arah milik publik secara luas. Dengan kepemilikan secara meluas tersebut membuat korupsi mendapat legalisasi dari masyarakat sehingga upaya pemberantasannya mengalami hambatan dan kesulitan.

Manifestasi dan implementsi dari korupsi dapat dikatakan menyentuh pada dua hal pertama, korupsi berkaitan dengan penyalahgunaan atau penyimpangan wewenang dan kekuasaan oleh aparat pengambil kebijakan dan kedua melibatkan pengutamaan publik menjadi kepentingan pribadi. Dari integrasi parameter tersebut, korupsi memberikan definisi yang luas. Ketika setiap usaha yang berkaitan dengan urusan publik namun terdapat kepentingan dibaliknya yang menyimpan kepentingan dan keuntungan pribadi maka itu dapat dikategorikan sebagai perilaku korupsi.

Sementara itu, upaya pembebasan ruang sosial dari belenggu korupsi sendiri menghadapi berbagai ujian dan tantangan. Sehingga mengapa, masa depan dari pemberantasan mengalami sedikit kebuntuan. Berangkat dari penegakan hukum yang lemah dan tak jarang hukum justru memihak sekaligus cenderung partisan terhadap para koruptor serta kelompok tertentu. Aparat penegak hukum pun bermain mata dengan koruptor. Sudah jamak bahwa lembaga yudikatif menjadi tempat jual beli, banyak berkeliaran para mafia peradilan yang menjual produk hukum. Hal ini kemudian membuat usaha pemberantasan korupsi mengalami dilematisasi. Apalagi belum adanya good will dari pemerintah?

Track record penanganan korupsi sejak awal reformasi hingga sekarang, sudah berapa banyak para koruptor yang tersenyum penuh kemenangan karena pengadilan dengan memutuskan perkara serta tindakannya dengan putusan bebas atau keringan hukuman. Maka, tak ayal masyarakat menjadi pesimis dan cenderung tidak lagi percaya pada lembaga-lembaga negara. Ini tentu pekerjaan penting yang harus terus menerus diperbaiki.
Begitu juga dengan sikap masyarakat yang cenderung ada pemakluman terhadap fenomena sosial ini. Bahwa hal tersebut sudah menjadi hal yang normal dalam sisi kehidupan masyarakat. Tengoklah seberapa besar peran masyarakat dalam melakukan hambatan dalam penanggulangan penyakit korupsi ini. Tindakan yang nyata bahkan tidak kelihatan sama sekali. Akibatnya, korupsi telah berubah menjadi semacam budaya yang berkembang dalam masyarakat, terbentuk akulturasi di sana.

Etika Politik dan Kekuasaan
Politik praktis merupakan pertarungan kekuatan dan pengaruh. Etika politik dianggap dunia ideal yang tidak mencerminkan realitas politik yang keras dan kerenanya sering terabaikan. Tak banyak orang yang mampu mengkedepankan etika dalam berpolitik, kecuali sebatas pada wacana semata. Etika politik tidak hanya mengatur perilaku politikus, namun juga mengatur segala institusi yang ada didalamnya. Etika politik mengandung aspek individual dan sosial. Aspek individual karena membahas masalah kualitas moral pelaku politik, sementara aspek sosial karena mereflekskan masalah hukum, tatanan sosial dan institusi yang adil (Haryatmoko,2003:25).

Bernhard Sutor menambahkan bahwa etika politik memiliki tiga dimensi yakni tujuan politik, sarana dan pilihan politik itu sendiri. Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat, dimensi sarana meliputi sistem dan prinsip-prinsip dasar pengorganisasian lembaga sosial dan politik, dan dimensi aksi politik menyangkut tentang rasionalitas dalam berpolitik.

Dengan demikian, etika politik sebetulnya lebih mengacu pada nilai dan cara pandang seseorang dalam berpolitik. Sederhananya, nilai ini pulalah yang kemudian memberikan batasan tentang apa yang etis dan tidak etis dilakukan, dan memberikan stimulus bagi perilaku politik.

Hakekatnya, politik praktis adalah cara untuk memperoleh kekuasaan, dan kekuasaan bisa saja diperoleh dengan cara yang legitimate maupun dengan kekerasan. Namun, kedua cara tersebut akan sangat dipengaruhi pada besar kecilnya dukungan masyarakat. Dukungan menjadi inspirasi paling utama untuk memperoleh kekuasaan, dan tanpa itu kekuasaan hanya menjadi status belaka. Dan ketika etika politik tidak menjadi landasan penting, maka tidak ada jaminan kekuasaan yang diperoleh akan dijalankan dengan sebaik-baiknya.

Pemikiran diatas memberikan suatu pertimbangan bahwa apakah dualisme pencalonan (sebagai calon kepala/wakil kepala daerah dan calon legislatif) tidak bertentangan dengan etika politik? Perlu dipertanyakan pula bagaimana orang-orang seperti ini memandang politik itu sendiri, apakah dipandang sebagai cara untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, atau sebagai lembaga profesi layaknya perusahaan?

Permasalahan korupsi tidak hanya berbentuk tunggal melainkan ada keterlibatan baik secara struktural maupun kultural. Struktural karena berhubungan dengan lingkaran kekuasaan dan juga faktor pendukung legal dari kekuasaan tersebut, yaitu partai politik. Bila melakukan runutan maka peran dari partai politik dalam melanggengkan korupsi memiliki signifikansi yang penting. Mengapa, karena para penguasa yang duduk di lingkaran kekuasaan itu terpilih lewat partai politik melalui mekanisme pemilu. Sehingga korelasi yang terbangun menjelaskan ada keterkaitan parpol dengan melestarikan budaya korupsi di tingkatan para elit. Pertanyaannya bagaimana menjelaskan fenomena ini?

Seperti yang kita pahami selama ini, pemilu merupakan prosedur pemilihan untuk memilih wakil yang menjabat di level birokrasi atau eksekutif maupun legislatif. Dari proses itu, terpilih elit politik yang kemudian akan menjalankan tata pemerintahan. Namun kenyataannya, dalam menjalankan amanah rakyat banyak terjadi penyimpanan di lingkup mereka. Seperti penggelapan uang rakyat, korupsi, money politic. Sehingga sistem yang ada hanya digunakan untuk melegitimasi penyimpangan yang dilakukan. Suap, money politic merupakan jalan sukses menuju kekuasaan, dan jelas pada saat memegang kekuasaan nantinya akan mencari ganti pengeluaran yang pernah digunakan Logikanya, seperti orang berdagang bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan kemudian mencari untung untuk melanjutkan usahanya sekaligus memperkaya diri.

29 Mei 2012

Menilai Peluang Kaum Muda di Kontestasi Kepemimpinan Belitung 2013


Menarik menyimak bagaimana orang muda mulai turut menggeliat berbenah untuk ambil bagian dalam percaturan politik Belitung 2013 nanti. Satu sisi, bakal ada angin segar bagi politik Belitung ke depan dengan kehadiran orang-orang muda, baik dari sisi usia, pemikiran, cara pandang dan juga mental perjuangan. Tetapi di sisi lain, ada pula tantangan yang harus dihadapi untuk bisa menghadirkan fisik dan pemikiran sebagai kaum muda yang berniat maju dan melakukan perubahan untuk Belitung.

Tergelitik untuk menulis bagaimana peluang pemuda Belitung yang ingin maju sebagai bakal calon kepala daerah Belitung di 2013 nanti, yang didasarkan pada situasi politik yang berjalan saat ini dan konsepsi keilmuan yang memandang kondisi dan situasi tersebut. Apakah yang muda punya cukup peluang untuk terpilih dibandingkan dengan mereka yang sudah tua dan berpengalaman dalam politik serta menguasai trik dan intrik politik di Belitung? Jawaban singkatnya, kenapa tidak? peluang tetap ada dan sama. yang membedakan hanya pada persoalan strategi dan konsolidasi modal sosial yang dimiliki dan modal finansial yang cukup.

Jika dilihat, mereka yang banyak beredar di media dan di masyarakat saat ini adalah mereka yang dalam kategori usia yang sudah tak lagi muda dan sudah malang melintang di percaturan politik Belitung cukup lama. Mereka sering disebut "muka lama" yang dalam periodeisasi pemilu dan suksesi kepemimpinan Belitung hampir selalu ikut ambil bagian.

Ini bukan berarti menegasikan bahwa mereka yang sudah tidak muda ini tidak boleh berpartisipasi lagi dalam suksesi kepemimpinan belitung 2013 nanti. Tetapi ini dalam konteks memberikan gambaran bahwa inisiasi dari sebuah proses 5 tahunan ini masih memunculkan muka lama dan menciptakan tantangan baru terutama kaum muda untuk turut berpartisipasi dan berkompetisi.

Jika memang setiap orang memiliki peluang yang sama, maka bagaimana peluang kaum muda belitung dapat memunculkan keunggulan dan meraih kemenangan? jawabannya ada di nilai kepribadian, pemikiran dan kontestasi yang kompetitif. Keseluruhan konteks ini bermuara kepada:
pertama, kebersihan niat dan komitmen untuk menjaga amanah kepemimpinan dengan memandang jabatan bupati bukanlah yang sosok yang dilayani tetapi melayani rakyat. Dan ini tidak mudah mengingat godaan kekuasaan terkadang jauh lebih kuat dan tak mengenal lelah.

Kedua, intimasi dengan masyarakat belitung secara keseluruhan. Hal ini mengacu kepada frekuensi dan intensitas kedekatan dengan masyarakat yang tak jarang pula menjadi tolak ukur bagi kekuatan modal sosial. Menciptakan kedekatan ini jelas membutuhkan proses. Dan pastinya juga tak hanya berusaha intensif di waktu menjelang pemilihan, tetapi dilakukan secara kontinyu. Jika pada waktunya kedekatan dan intimasi ini berlangsung, maka ini sudah menjadi sebuah keunggulan yang dapat dijadikan sebagai modal sosial untuk turut berkontestasi.

Ketiga, keunggulan strategi yang mengarah kepada infiltrasi konsepsi, visi dan misi serta nilai kebutuhan masyarakat. Yang perlu diingat adalah bagaimana strategi yang diciptakan dan dijalankan haruslah menjawab masalah yang dihadapi masyarakat, dan tidak terjebak dalam problematika politik "murahan" seperti money politik.

Keempat, ketercukupan modal finansial yang tidak berpotensi sebagai alat untuk membeli suara, tetapi untuk menjalankan mesin politik yang dibentuk. Dikatakan "cukup" ini memang terdengar sumir, namun konteksnya adalah politik tetap membutuhkan modal finansial dan modal ini dipandang sebagai alat beroperasi bukan alat kontraprestasi. Artinya, modal finansial bukanlah instrumen utama tetapi harus dipandang sebagai instrumen pendukung. Sebab, jika dipandang sebagai instrumen utama, maka finansial ini pula yang akan menjadi motivasi utama ketika sudah memperoleh kemenangan.

Kelima, nilai jual yang memadai dimana nilai ini bukan bersandar pada politik transaksional (berupa barang dan uang), tetapi bersandar pada bangunan pemikiran dan kepribadian diri yang kemudian memunculkan harapan baru bagi masyarakat. Penekanan pentingnya adalah bagaimana kaum muda ini bisa menginterpretasikan kebutuhan masyarakat, harapan masyarakat, dan masalah yang dihadapi masyarakat ke dalam pengejawantahan dirinya sebagai seseorang yang diyakini mampu menjadi solusi atas semua itu.

Sudah saatnya kaum muda bicara dan berkompetisi untuk melakukan perubahan Belitung yang lebih dinamis dan progresif. Tinggal kita, masyarakat, yang menentukan sikap, siapakah yang pantas?

26 Oktober 2011

POLITIKKU BERAT DIONGKOS

Mari menghitung hari mulai dari sekarang, suksesi kepemimpinan di belantara perpolitikan di Provinsi Bangka Belitung ini akan segera dimulai. Genderang “perang” mulai terdengar samar dan akan semakin bergaung keras menjelang pilkada mendekati pelaksanaan. Mari kita mulai berhitung angka dan mengira-ngira siapa yang meraih suara terbanyak, siapa yang akan kalah, siapa yang senang dan merayakan dan siapa yang kecewa atau bahkan “menggeret kaleng” karena bangkrut membiayai untuk kesuksesan dirinya.

Nama-nama calon sudah mulai bermunculan, namun itu tak penting. Yang penting – idealnya – siapapun calon yang terpilih bisa menjalankan amanah rakyat yang telah memilihnya. Alangkah indahnya jika kondisi ideal tersebut bisa tercapai. Namun, faktanya tidak. Masyarakat “dipaksa” menghadapi dilema kekuasaan yang menyeret mereka pada sebuah keinginan besar sang calon, yakni MENANG walau terkadang (jika tak dikatakan selalu) dilakukan dengan cara yang tidak bersih.

Pilkada memang tidak murah. Untuk pelaksanaannya, bahkan, suatu pemerintah daerah harus mengeluarkan biaya hingga ratusan milyar tergantung seberapa luas dan seberapa banyak penduduk yang memiliki hak pilih. Itu belum ditambah dengan biaya “sukses” yang dikeluarkan oleh para calon untuk pemenangannya. Mulai dari membayar MAHAR ke partai sebagai kendaraan politik atau untuk fotokopi KTP bagi calon independen, membiayai tim sukses, membiayai konsultan pemenangan, membiayai atribut kampanye, bayar artis, bikin konser, hingga jika perlu untuk melaksanakan serangan fajar menjelang pemilihan. Ntah berapa milyar uang yang harus disiapkan guna mampu mendanai semua itu.

Sekali lagi mari kita berhitung angka, adakah sebanding angka yang dikeluarkan sebagai cost politik dengan penghasilan gubernur ketika terpilih? Namun, saya disini bicara yang idealnya saja dulu. Untuk kita ketahui, take home pay (gaji plus tunjangan) seorang gubernur hanyalah 8 juta perbulan. Sebuah angka yang kecil bukan? Jika setahun, maka insentif yang dibawanya sebesar 96 juta. DAlam satu periode itu berarti seorang gubernur hanya membawa insentif sebesar 480 juta. Sebandingkah dengan biaya pencalonannya sebagai kepala daerah?

Untuk maharnya saja, seorang calon dikabarkan diwajibkan menyetor hingga belasan milyar. Belum ditambah dengan biaya untuk menyiapkan kesuksesan dirinya, yang bisa hingga puluhan milyar juga. Terbayangkah oleh kita, jika bukan karena seorang calon adalah orang kaya raya, mampukah dia untuk menyalonkan diri? Bahkan walau sekalipun dirinya adalah seorang incumbent yang menjalankan jabatan dengan “ideal”, saya kira kita sudah bisa lihat perbandingannya tak mampulah dia membiayai pencalonannya meski seluruh uang diperiodenya tersebut dikumpulkan.

Mari kita berpikir kritis. Dalam hukum ekonomi positif, biaya yang dikeluarkan harus sebanding dengan yang diperoleh plus margin sebagai keuntungan. Jika saya mengeluarkan uang 100 juta, maka bagaimanpun saya harus bisa memperoleh kembali uang 100 juta tersebut plus margin keuntungan dari biaya yang dikeluarkan. Jika hukum ekonomi ini “seandainya” diterapkan dalam sebuah jabatan kepala daerah, apa yang terjadi? Yang terjadi adalah hampir dipastikan segala kebijakan akan diarahkan untuk membuka dan memuluskan jalan memperoleh kembali biaya yang sudah dikeluarkan plus margin sebagai keuntungan. Dan mereka yang sudah turut serta “membantu” mendanai di saat pencalonan akan diberis reward sebagai kompensasi bantuan tersebut.

Jelas, ada yang dikorbankan. Siapa? Rakyat tentunya.

Melalui revisi UU Pemerintahan Daerah yang saat ini masih digodok di lembaga perwakilan rakyat, pemilihan gubernur diwacanakan akan dikembalikan seperti era orde baru, yakni dipilih secara tidak langsung atau dipilih oleh anggota DPRD Provinsi. Pemerintah beralasan pada tiga hal pokok, yakni 1). Political cost (biaya politik) pemilihan gubernur sangatlah tinggi dikarenakan mencakup luas wilayah yang sangat besar. Dan ini dianggap dapat membenani anggaran daerah dan juga pusat untuk membiayainya. 2). Gubernur hanyalah kepanjangan tangan pemerintah pusat yang hanya memiliki kewenangan melaksanakan koordinasi dan menjalankan kebijakan pemerintah pusat di daerah. Karena itu, pemerintah menilai gubernur tak perlu dipilih langsung. Cukup dipilih oleh lembaga perwakilan rakyat daerah saja. Dan 3). Jabatan Gubernur hanyalah jabatan yang bersifat administratif, dan bukan politis. Sehingga, gubernur dianggap tidak memiliki kewenangan lebih dalam menetapkan kebijakan-kebijakan strategis.

Namun, wacana ini tentu perlu pemikiran dan penilaian lebih lanjut untuk memastikan bahwa hak-hak rakyat tetap bisa terpenuhi dan yang lebih penting lagi adalah mampu menjalankan amanah dan menetapkan kebijakan secara baik dan benar.

Kita menjelang pemilihan gubernur ini semestinya sudah harus berpikir dan bersikap kritis dengan berefleksi pada kondisi dan situasi bagaimana keberlangsungan provinsi ini dalam kurun waktu 10 tahun ke belakang. Rasa-rasanya, kita membutuhkan penyegaran yang lebih memberikan semangat dan pencerdasan akan masa depan Babel yang lebih baik. Bukan hanya sekedar penyegaran sistem dan kondisi daerah, namun jika memungkinkan perlu penyegaran dalam sisi kepemimpinan. Maka dari itu, memilihlah dengan bijak.