26 Oktober 2011

POLITIKKU BERAT DIONGKOS

Mari menghitung hari mulai dari sekarang, suksesi kepemimpinan di belantara perpolitikan di Provinsi Bangka Belitung ini akan segera dimulai. Genderang “perang” mulai terdengar samar dan akan semakin bergaung keras menjelang pilkada mendekati pelaksanaan. Mari kita mulai berhitung angka dan mengira-ngira siapa yang meraih suara terbanyak, siapa yang akan kalah, siapa yang senang dan merayakan dan siapa yang kecewa atau bahkan “menggeret kaleng” karena bangkrut membiayai untuk kesuksesan dirinya.

Nama-nama calon sudah mulai bermunculan, namun itu tak penting. Yang penting – idealnya – siapapun calon yang terpilih bisa menjalankan amanah rakyat yang telah memilihnya. Alangkah indahnya jika kondisi ideal tersebut bisa tercapai. Namun, faktanya tidak. Masyarakat “dipaksa” menghadapi dilema kekuasaan yang menyeret mereka pada sebuah keinginan besar sang calon, yakni MENANG walau terkadang (jika tak dikatakan selalu) dilakukan dengan cara yang tidak bersih.

Pilkada memang tidak murah. Untuk pelaksanaannya, bahkan, suatu pemerintah daerah harus mengeluarkan biaya hingga ratusan milyar tergantung seberapa luas dan seberapa banyak penduduk yang memiliki hak pilih. Itu belum ditambah dengan biaya “sukses” yang dikeluarkan oleh para calon untuk pemenangannya. Mulai dari membayar MAHAR ke partai sebagai kendaraan politik atau untuk fotokopi KTP bagi calon independen, membiayai tim sukses, membiayai konsultan pemenangan, membiayai atribut kampanye, bayar artis, bikin konser, hingga jika perlu untuk melaksanakan serangan fajar menjelang pemilihan. Ntah berapa milyar uang yang harus disiapkan guna mampu mendanai semua itu.

Sekali lagi mari kita berhitung angka, adakah sebanding angka yang dikeluarkan sebagai cost politik dengan penghasilan gubernur ketika terpilih? Namun, saya disini bicara yang idealnya saja dulu. Untuk kita ketahui, take home pay (gaji plus tunjangan) seorang gubernur hanyalah 8 juta perbulan. Sebuah angka yang kecil bukan? Jika setahun, maka insentif yang dibawanya sebesar 96 juta. DAlam satu periode itu berarti seorang gubernur hanya membawa insentif sebesar 480 juta. Sebandingkah dengan biaya pencalonannya sebagai kepala daerah?

Untuk maharnya saja, seorang calon dikabarkan diwajibkan menyetor hingga belasan milyar. Belum ditambah dengan biaya untuk menyiapkan kesuksesan dirinya, yang bisa hingga puluhan milyar juga. Terbayangkah oleh kita, jika bukan karena seorang calon adalah orang kaya raya, mampukah dia untuk menyalonkan diri? Bahkan walau sekalipun dirinya adalah seorang incumbent yang menjalankan jabatan dengan “ideal”, saya kira kita sudah bisa lihat perbandingannya tak mampulah dia membiayai pencalonannya meski seluruh uang diperiodenya tersebut dikumpulkan.

Mari kita berpikir kritis. Dalam hukum ekonomi positif, biaya yang dikeluarkan harus sebanding dengan yang diperoleh plus margin sebagai keuntungan. Jika saya mengeluarkan uang 100 juta, maka bagaimanpun saya harus bisa memperoleh kembali uang 100 juta tersebut plus margin keuntungan dari biaya yang dikeluarkan. Jika hukum ekonomi ini “seandainya” diterapkan dalam sebuah jabatan kepala daerah, apa yang terjadi? Yang terjadi adalah hampir dipastikan segala kebijakan akan diarahkan untuk membuka dan memuluskan jalan memperoleh kembali biaya yang sudah dikeluarkan plus margin sebagai keuntungan. Dan mereka yang sudah turut serta “membantu” mendanai di saat pencalonan akan diberis reward sebagai kompensasi bantuan tersebut.

Jelas, ada yang dikorbankan. Siapa? Rakyat tentunya.

Melalui revisi UU Pemerintahan Daerah yang saat ini masih digodok di lembaga perwakilan rakyat, pemilihan gubernur diwacanakan akan dikembalikan seperti era orde baru, yakni dipilih secara tidak langsung atau dipilih oleh anggota DPRD Provinsi. Pemerintah beralasan pada tiga hal pokok, yakni 1). Political cost (biaya politik) pemilihan gubernur sangatlah tinggi dikarenakan mencakup luas wilayah yang sangat besar. Dan ini dianggap dapat membenani anggaran daerah dan juga pusat untuk membiayainya. 2). Gubernur hanyalah kepanjangan tangan pemerintah pusat yang hanya memiliki kewenangan melaksanakan koordinasi dan menjalankan kebijakan pemerintah pusat di daerah. Karena itu, pemerintah menilai gubernur tak perlu dipilih langsung. Cukup dipilih oleh lembaga perwakilan rakyat daerah saja. Dan 3). Jabatan Gubernur hanyalah jabatan yang bersifat administratif, dan bukan politis. Sehingga, gubernur dianggap tidak memiliki kewenangan lebih dalam menetapkan kebijakan-kebijakan strategis.

Namun, wacana ini tentu perlu pemikiran dan penilaian lebih lanjut untuk memastikan bahwa hak-hak rakyat tetap bisa terpenuhi dan yang lebih penting lagi adalah mampu menjalankan amanah dan menetapkan kebijakan secara baik dan benar.

Kita menjelang pemilihan gubernur ini semestinya sudah harus berpikir dan bersikap kritis dengan berefleksi pada kondisi dan situasi bagaimana keberlangsungan provinsi ini dalam kurun waktu 10 tahun ke belakang. Rasa-rasanya, kita membutuhkan penyegaran yang lebih memberikan semangat dan pencerdasan akan masa depan Babel yang lebih baik. Bukan hanya sekedar penyegaran sistem dan kondisi daerah, namun jika memungkinkan perlu penyegaran dalam sisi kepemimpinan. Maka dari itu, memilihlah dengan bijak.

18 Oktober 2011

Mengapa Rustam Effendi Dipilih oleh Gubernur Babel Incumbent.

Tidak mengejutkan sebetulnya jika pada akhirnya Gubernur Eko Maulana Ali, sang incumbent menjatuhkan pilihan politiknya kepada Saudara Rustam Effendi sebagai pasangannya nanti di pemilihan Gubernur Bangka Belitung 2012. Hal ini memang sudah diprediksi sejak awal bahwa diantara 3 calon yang diajukan oleh incumbent ke DPP Golkar, yakni Rustam Effendi (PDIP), Darmansyah Husein (PAN) dan Abdullah Ma’aruf (PPP), incumbent lebih memilih Rustam Effendi. Apa pertimbangan politiknya?

Secara garis besar, menjatuhkan pilihan untuk menjadi pasangan tentu didasari oleh dua pertimbangan penting, yaitu pertimbangan strategis dan advantage (keuntungan yang didapat). Pertimbangan strategis tentu bertujuan untuk agar salah satu pasangan bisa menempatkan diri dan menentukan elektabilitas secara besar. Sementara, pertimbangan advantage (keuntungan yang didapat) tentu selaras dengan dengan tujuan yakni mendapatkan suara sebesar-besarnya dan memenangi pemilihan. Namun, dalam kasus mengapa Rustam Effendi yang dipilih incumbent, ini tak hanya didasarkan pada dua pertimbangan tersebut. Tapi juga faktor tekanan politik dan usaha mereduksi (baca: mengacaukan) isu yang paling banyak memperoleh perhatian masyarakat babel, khususnya masyarakat Belitung saat ini.

Incumbent boleh jadi memiliki kepercayaan diri tinggi. Secara, popularitas dan kekuatan financial berada dipihaknya. Oleh karena itu, faktor siapa yang menjadi pasangannya sebetulnya hanya karena didorong “konvensi kesetaraan” dalam jabatan gubernur dan wakil gubernur saja. Namun pantas untuk dicermati bahwa bagi masyarakat Belitung, “konvensi kesetaraan” menjadai terabaikan jika pasangan yang dipilih juga bukan bagian penting dalam masyarakat, baik dalam isu-isu yang berkembang saat ini, akseptabilitas (penerimaan) oleh masyarakat dan kinerja (track record) sebagai apa statusnya saat ini. Pertanyaannya, kan, apakah Rustam sebagai pasangan incumbent memenuhi semua ekspektasi ini?

Di editorial Spirit of Berehun BFM Senin, 17 Oktober kemarin saya sudah menyampaikan, situasi politik menjelang pilgub saat ini sudah mulai menapaki ekskalasi yang signifikan. Mereka yang semula berkubang dalam kerja ekonomi pertambangan namun juga eksis di politik mulai mengganti jubahnya menjadi berjubah malaikat. Sama juga dengan elit-elit politik yang selama ini mengisi pundi-pundi kekayaannya dari pertambangan dan kongkalikong dengan cukong-cukong kapal isap dan TI Apung ikut pula berbenah mengganti jubahnya menjadi “putih” dan “suci”. Mengapa? Karena memang isunya strategis untuk meraih simpati publik.

Saya yakin, semua calon membaca situasi ini dan berusaha membangun strategi yang paling jitu bagaimana agar simpati dan pilihan masyarakat jatuh padanya. Namun, akankah strategi ini berhasil jika menyorot pada pasangan incumbent Eko Maulana Ali dan Rustam Effendi? Hmmm….terus terang saya tidak begitu yakin.

Saya telah utarakan di atas bahwa pertimbangan incumbent memilih Rustam Effendi juga berdasarkan pertimbangan tekanan politik dan usaha mereduksi isu kapal isap dan penambangan laut yang sekarang paling disorot masyarakat. Begini, konon terdengar kabar-kabar burung, pilihan incumbent terhadap Rustam lebih karena tekanan arus bawah (kader) dan elit politik PDIP kepada incumbent untuk segera menentukan pasangannya dalam Pilgub 2012 nanti. Maaf yah…kalo salah. Namanya juga kabar burung hahaha…hahaha…haha…. Hanya, kenapa bukan Darmansyah Husien atau Abdullah Ma’aruf? Dalam analisa saya, Pak Darman ini mungkin karena sudah ngomong pengen maju jadi Babel 1, bukan Babel 2. Jadinya gak dipilih. Sementara, bukan juga Pak Ma’aruf, yah, mungkin karena memang tidak populer di mata masyarakat Belitung hehehe.

Tapi apakah Rustam layak juga, terutama ketika mengaitkannya dengan kinerja, track record serta perhatian politiknya selama ini, terutama terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat Belitung? Jika memang ada, kok, saya belum pernah yah melihat dan mendengarkan perkembangan positif atas kinerja, kompetensi track record dan perhatian politik beliau. Taruh contoh kasus kapal isap dimana sejak 2010 lalu hingga sekarang terus memperoleh penolakan dari masyarakat Belitung. Dimana posisinya saat itu? Saya hanya berusaha menyodorkan fakta saja. Siapa tahu ada yang mampu menunjukkan bukti nyata atas kinerja, track record dan perhatian beliau terhadap kasus tersebut. Kalo incumbent, sih, sudah gak usah diomongin kali yah… Udah tahu sama tahulah haha…haha…haha.

Saya tak ingin berandai-andai. Namun, jika saja pada pemilihan nanti ini pasangan ini bisa memperoleh kemenangan, apakah yakin tidak berniat untuk memasukkan kapal isap ke perairan Belitung dan tidak mengizinkan penambangan di laut Belitung? Jawabnya adalah pilih yang benar-benar memiliki komit atas kesejahteraan dan kelestarian lingkungan. Yang memiliki visi dan integritas. Yang terbukti dalam kapasitas, kapabilitas dan akuntabilitas. Bukan mereka yang merubah jubah hitam dengan jubah malaikat dalam sekejap demi meraih simpati lalu kemudian meninggalkan harapan masyarakat begitu saja, demi orientasi kekuasaan dan kekayaan dengan merusak dan menghancurkan perairan dan laut Belitong.

Terakhir, perairan kita, laut kita Belitong tercinta tidak mungkin dijaga oleh mereka yang tidak punya kepedulian, nurani, perhatian dan hanya mementingkan kekayaan, kekuasaan dan diri sendiri beserta kroni-kroninya. Kita, masyarakat Belitong, inilah yang mampu dan harus menjaganya dengan segala upaya. KEPENTINGAN KITA MASYARAKAT BELITONG hanya bisa diraih dengan memilih pemimpin yang tepat dan cerdas. Apakah kita tak mampu menentukan siapa pemimpin yang jelas-jelas memiliki komitmen untuk menjaga laut dari perairan kita dari kapal isap dan penambangan laut dan siapa yang hanya berpura-pura, pura-pura baik, pura-pura menolak, pura-pura tak bersalah dan pura-pura dirinyalah yang dapat menjadi pemimpin sejati? HAYO KITA TENTUKAN DENGAN CARA MEMILIH SECARA CERDAS….

Pilgub dan Simpati Tolak Tambang Laut

Sedikit kabar gembira ketika Menteri Perikanan dan Kelautan RI, Fadel Muhammad, mengungkapkan himbauannya agar Laut Babel, khususnya Perairan Belitung bebas dari segala penambangan laut. Tentu ini cukup melegakan. Ditengah perjuangan masyarakat untuk menolak segala bentuk penambangan laut dengan menggunakan kapal isap dan TI Apung, keinginan ini ternyata lebih didengarkan dan direspon oleh Pemerintah Pusat.

Kemelut penambangan laut terus berdinamika dalam babak-babak baru. Pihak perusahaan pertambangan yang mayoritas didukung oleh para kepala daerah saat ini vis a vis (berhadapan) dengan masyarakat kecil, para nelayan, petani, pelaku pariwisata dan masyarakat biasa yang ingin menjaga kelestarian laut dan segala apa yang ada dibawahnya dari kehancuran. Lalu mengapa masyarakat harus diintimidasi dengan kekuasaan dan ketidakberpihakan karena menjaga sejengkal laut dan daratnya dari kehancuran tersebut?

Ingat pemilihan gubernur Babel akan dilaksanakan beberapa bulan lagi. Akan muncul manusia-manusia berwajah malaikat yang semula begitu getol membela dan mempertahankan prinsip bahwa Babel memiliki potensi timah yang besar dilaut. Karena itu harus diambil dan jika perlu diobok-obok bagaimanapun caranya. Mengenai cara tentu masih segar diingatan kita bagaimana mereka, sang pemimpin di negeri Laskar Pelangi ini, menggunakan berbagai cara dan upaya biar terlihat masuk akal. Dengan ingin membangun Dolphin Island-lah, lalu berubah menjadi Pantai Indah Belitung saat ini. Dengan membuat sistem zoning-lah, mana bagian yang boleh ditambang dan mana yang tidak. Ada pula yang seolah-olah menyerah tak mampu berbuat apa-apa karena wilayah laut yang ingin ditambang adalah Kuasa Penambangan (KP) pihak perusahaan. Dan ada juga yang menganggap moratorium penambangan, khususnya di laut tidak perlu dilakukan karena dianggap masih bernilai ekonomis tinggi, meski sudah paham betul bagaimana kehancuran terjadi di depan mata… Astaqfirullah.

Pilkada memang merupakan ajang mengadu strategi demi meraih simpati. Begitu banyak pemimpin dan mereka yang mengisi pundi keuangannya melalui penambangan, tiba-tiba berubah menjadi tidak kompromis dengan penambangan laut, menolak kapal isap dan TI Apung. Teman, kecerdasan kita dalam melihat mana yang rubah dan mana yang domba dipertaruhkan. Sebab, ingat pilkada mau berlangsung dan itu menentukan masa depan kita, masyarakat Babel hingga 5 tahun mendatang.

Ungkapan Menteri Perikanan dan Kelautan RI merupakan momentum untuk benar-benar bebas, tak hanya dari kebijakan tetapi juga dari niatan untuk melakukan penambangan di perairan Babel, khususnya Belitung. Kita membutuhkan calon gubernur yang berkomitmen sangat tinggi untuk itu. Adakah yang bisa dan mampu? Mestinya ada karena tidaklah sulit untuk melaksanakannya. Namun sangsi, apakah para politisi wajah lama dan yang masih menjabat mampu dan mau melaksanakannya? Hahaha…sulit untuk menduga-duga jika bukan karena sudah bisa ditebak arahnya.

Masyarakat tak butuh calon yang pura-pura, pura-pura baik, pura-pura menolak, pura-pura tak bersalah dan pura-pura dirinyalah yang dapat menjadi pemimpin sejati. Kita membutuhkan penyegaran tentang siapa yang pantas memimpin Babel kedepan. Yang memiliki komit atas kesejahteraan dan kelestarian lingkungan. Yang memiliki visi dan integritas. Yang terbukti dalam kapasitas, kapabilitas dan akuntabilitas. Bukan mereka yang merubah jubah hitam dengan jubah malaikat dalam sekejap demi meraih simpati lalu kemudian meninggalkan harapan masyarakat begitu saja, demi orientasi kekuasaan dan kekayaan dengan merusak dan menghancurkan perairan dan laut Belitong dan Bangka. Satukan hati dan pilihan, sebab hanya kita yang pantas untuk menentukan siapa yang mampu memimpin kita.

19 Juni 2011

Partisipasi Politik dan Partai Politik

Prof Miriam Budiardjo menyatakan bahwa partisipasi warga negara di dalam politik dan kebijakan publik merupakan prasyarat bagi penyelenggaraan demokratisasi di negara manapun. Beliau mendifinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, melalui pemilihan kepala negara dan mempengaruhi kebijakan pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu partisipasi politik yang biasanya diikuti oleh seseorang atau kelompok adalah dengan menjadi anggota/partisan suatu partai politik. Adapun tujuan seseorang berpartisipasi dalam politik adalah untuk dapat melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan agar terjadi perubahan dalam kebijakan pemerintahan.

Berbagai pendapat dan asumsi para ilmuwan politik mengenai partisipasipun beragam. Namun secara umum mengutarakan hal yang tidak terlalu berbeda, yakni adanya keikutsertaan dan keterlibatan setiap warga masyarakat di dalam kehidupan politik. Di negara-negara penganut demokrasi, beliau menyatakan bahwa partispasi politik adalah basis di dalam penyelenggaraan kekuasaan. Artinya, partisipasi politik menentukan kebasahan suatu pemerintahan. Karena pada dasarnya, di dalam demokrasi yang tertinggi adalah kedaulatan rakyat. Di dalam negara-negara demokratis umumnya juga dianggap bahwa lebih banyak masyarakat berpartisipasi, maka kualitas demokrasi akan lebih baik.

Ada ilmuwan yang beranggapan bahwa partisipasi bersifat sukarela, seperti yang ada dalam demokrasi masyarakat barat. Herbert Mc Closky, Gabriel Almond, Norman H. Hie dan Sidney Verba adalah ilmuwan-ilmuwan yang berada pada posisi ini. Namun ada pula yang berpendapat bahwa kegiatan yang tidak sukarelapun tercakup karena sulitnya membedakan mana bentuk sukarela dan mana yang dipaksakan. Ini terjadi di negara-negara komunis misalnya. Di dalam kelompok masyarakat, sebetulnya juga terdapat masyarakat yang tidak melibatkan diri dalam politik. Mereka disebut apatis (apathy). Mereka adalah orang-orang yang memiliki alasan untuk tidak berpartisipasi dalam berpolitik. Alasan tersebut bisa karena ketidaktahuan akan politik dan juga karena memilih untuk memanfaatkan kesempatan berpartisipasi atau juga karena memang tidak perduli dengan segala urusan politik.

Baca lebih lanjut Klik Disini

17 Juni 2011

Menyingkap Wacana dan Pergerakan Islam Liberal di Indonesia










Judul : Islam Liberal : Paradigma Baru wacana dan Aksi Islam Indonesia

Penulis : Zuly Qodir

Penerbit : Pustaka Pelajar Yogyakarta

Terbit : Desember 2003

Halaman : 215 + xi hal.

Harga : Rp 20.000,-

Semua pemeluk Agama Islam meyakini Islam sebagai agama yang universal. Karena Islam bukanlah agama yang terbatas pada persoalan ibadah semata (menyangkut hubungan antara individu dengan Allah SWT), tetapi Islam juga berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran Islam memiliki makna Rahmatan Lil’alamin. Ajaran Islam juga diajarkan secara bertahap agar bisa dipahami oleh umat manusia dalam konteks zaman apapun.

Di Indonesia, pengalaman beragama, khususnya Islam sebagai agama mayoritas penduduk, bisa dikatakan unik. Persepsi penduduk terhadap agama Islam cukup beragam. Dari sini kita mengenal adanya istilah Islam Pesantren, Islam Priyayi dan Islam Abangan. Bahkan untuk setiap daerah, tradisi keislaman sangatlah bervariatif. Konteks keagamaan, khususnya Islam seperti ini, sedikit banyak dipengaruhi oleh pola penyebaran Islam di Indonesia, dan tidak lepas dari interpretasi yang berbeda dari setiap pemeluk, yang tentu saja disesuaikan dengan pemahaman mereka terhadap Islam sendiri.

Dinamika seperti ini dalam Islam sebetulnya wajar-wajar saja, dan dipersilahkan selama tidak mengubah paham Ketauhidan terhadap Allah SWT. Namun persoalannya kemudian adalah sebagai konsekuensi dari interpretasi yang beragam atas Islam di Indonesia, justru makin menjauhkan Islam dari nilai-nilai yang seharusnya. Kondisi ini semakin lama semakin memprihatinkan. Oleh karena itu, banyak gerakan-gerakan yang berlabel Islam yang mencoba untuk mengembalikan nilai-nilai Islam ke jalan yang lurus berdasarkan konteks semula dimana Islam untuk pertama kali diturunkan sebagai agama. Namun sebaliknya, ada pula gerakan yang mensikapi keadaan tersebut dengan mencoba berkompromi dengan nilai-nilai Islam. Artinya mencoba untuk mengkontekskan Islam sesuai dengan perkembangan zaman yang berlaku. Kedua varian ini nantinya melahirkan pergerakan-pergerakan baru. Kita contohkan, misalnya, dengan apa yang disebut orang sebagai Islam konservatif (mainstream-istilah Zuly Qodir), Islam Kiri, Islam Kanan, dan sebagainya.

Diantara varian-varian pergerakan tadi, terdapat satu varian lain yang cukup populis belakangan ini, yaitu yang disebut sebagai Islam Liberal. Istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur) untuk mensikapi perlunya memahami Islam secara lebih modern. Pada awalnya, wacana Islam Liberal sempat hangat dalam berbagai perdebatan, namun seiring waktu, wacana ini secara perlahan menghilang dari perdebatan. Sekarang, wacana ini kembali menggeliat, seiring perubahan konstelasi sosial dan politik yang memungkinkan wacana ini kembali dimunculkan.

Apa itu Islam Liberal? Mengapa perlu liberalisasi dalam Islam? Dan bagaimana prosesnya sehingga menyebabkan terjadi pergeseran tentang Islam Liberal dari sekedar wacana hingga menjadi sebuah pergerakan dan aksi di masyarakat?

Buku karangan Zuly Qodir ini mencoba menjelaskan semua kegelisahan tersebut. Buku ini berangkat dari kegusarannya mengapa Islam (tepatnya nilai-nilai Islam) perlu diperdebatkan. Kalau memang demikian, mengapa wacana Islam Liberal kurang begitu mendapat tempat di dalam masyarakat, sehingga Islam Liberal harus dicemooh dan dituding sebagai perusak nilai-nilai agama? Meski menurutnya dia bukanlah seorang penganjur perlunya liberalisasi dalam Islam, namun menurutnya Islam Liberal hendak memberikan tafsir baru, yang nantinya akan menjadi sebuah paradigma baru bagi perkembangan dan aksi Islam Indonesia, di tengah perkembangan sosial keagamaan. Baginya Islam Liberal bisa menjadi bagian tersendiri dalam masyarakat muslim Indonesia (hal. VII).

Persoalan wacana Islam Liberal memang belum mencapai titik kulminasi yang bisa menarik perhatian semua orang. Bisa dicontohkan, orang masih menganggap asing bila mendengar istilah Islam Liberal itu sendiri. Di situlah Zuly Qodir mencoba untuk memasyarakatkan wacana tersebut dengan memunculkan buku ini. Buku ini juga menghadirkan perspektif yang relevan dengan perdebatan yang mencuat belakangan ini, yakni tentang penegakan Syariah Islam Indonesia, meski menurutnya, ada sedikit penurunan momen terhadap wacana Islam Liberal. Artinya ada semacam “penyembunyian” wacana Islam Liberal dan pergerakannya saat ini untuk menyatakan betap kuatnya perdebatan wacana penegakan Syariah Islam di Indonesia. Walau demikian, menurutnya antara penegakan Syariah Islam dan Islam Liberal ada bagian yang tak terpisahkan.

Tema-tema yang diangkat dalam Islam Liberal merupakan tema yang relevan dengan kondisi mutakhir kenegaraan. Tema tersebut secara tidak langsung memberikan perimbangan dan kontrol (check and balance) dalam perkembangan pemikiran dan aksi Islam Indonesia. Dengan bergulirnya tema-tema seperti Islam dan Demokrasi, Islam dan Pluralisme, Islam dan Syariah menunjukkan bahwa Islam Liberal hendak memberikan “warna baru” dalam memahami Islam (hal. 161). Akan tetapi persoalannya tidak semua orang memahami Islam Liberal secara massif. Zuly Qodir beranggapan bahwa, meskipun wacana dan pergerakan Islam Liberal masih elitis, namun dia berkeyakinan bahwa nantinya Islam Liberal akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gerakan Islam Indonesia, baik yang mainstream (NU dan Muhammadiyah), maupun gerakan-gerakan Islam lain yang bercorak militan, fundamentalisme radikal.

Kami menilai buku ini sangat penting dibaca oleh siapapun yang menginginkan tambahan pengetahuan bagaimana wacana dan pergerakan Islam Liberal berkembang di Indonesia, baik itu untuk akademisi, mahasiwa, orang-orang yang “gemar” , memperdebatkan dan mempersoalkan pergeseran wacana dan pergerakan Islam Indonesia, dan juga bagi masyarakat yang memiliki kepedulian tentang wacana keagamaan, khususnya Islam. Buku ini memberikan penjelasan tentang percaturan wacana Islam di Indonesia, dan bagaimana perkembangannya. Penjelasan dalam buku ini cukup sistematis, dimulai dari bagaimana tahapan-tahapan sejarah munculnya Islam Liberal Indonesia, paradigma yang digunakan, sampai prospeknya di masa mendatang. Tulisannya sederhana, namun sarat akan pengetahuan. Kami kira buku ini cukup layak dibaca oleh siapapun.