26 Oktober 2011

POLITIKKU BERAT DIONGKOS

Mari menghitung hari mulai dari sekarang, suksesi kepemimpinan di belantara perpolitikan di Provinsi Bangka Belitung ini akan segera dimulai. Genderang “perang” mulai terdengar samar dan akan semakin bergaung keras menjelang pilkada mendekati pelaksanaan. Mari kita mulai berhitung angka dan mengira-ngira siapa yang meraih suara terbanyak, siapa yang akan kalah, siapa yang senang dan merayakan dan siapa yang kecewa atau bahkan “menggeret kaleng” karena bangkrut membiayai untuk kesuksesan dirinya.

Nama-nama calon sudah mulai bermunculan, namun itu tak penting. Yang penting – idealnya – siapapun calon yang terpilih bisa menjalankan amanah rakyat yang telah memilihnya. Alangkah indahnya jika kondisi ideal tersebut bisa tercapai. Namun, faktanya tidak. Masyarakat “dipaksa” menghadapi dilema kekuasaan yang menyeret mereka pada sebuah keinginan besar sang calon, yakni MENANG walau terkadang (jika tak dikatakan selalu) dilakukan dengan cara yang tidak bersih.

Pilkada memang tidak murah. Untuk pelaksanaannya, bahkan, suatu pemerintah daerah harus mengeluarkan biaya hingga ratusan milyar tergantung seberapa luas dan seberapa banyak penduduk yang memiliki hak pilih. Itu belum ditambah dengan biaya “sukses” yang dikeluarkan oleh para calon untuk pemenangannya. Mulai dari membayar MAHAR ke partai sebagai kendaraan politik atau untuk fotokopi KTP bagi calon independen, membiayai tim sukses, membiayai konsultan pemenangan, membiayai atribut kampanye, bayar artis, bikin konser, hingga jika perlu untuk melaksanakan serangan fajar menjelang pemilihan. Ntah berapa milyar uang yang harus disiapkan guna mampu mendanai semua itu.

Sekali lagi mari kita berhitung angka, adakah sebanding angka yang dikeluarkan sebagai cost politik dengan penghasilan gubernur ketika terpilih? Namun, saya disini bicara yang idealnya saja dulu. Untuk kita ketahui, take home pay (gaji plus tunjangan) seorang gubernur hanyalah 8 juta perbulan. Sebuah angka yang kecil bukan? Jika setahun, maka insentif yang dibawanya sebesar 96 juta. DAlam satu periode itu berarti seorang gubernur hanya membawa insentif sebesar 480 juta. Sebandingkah dengan biaya pencalonannya sebagai kepala daerah?

Untuk maharnya saja, seorang calon dikabarkan diwajibkan menyetor hingga belasan milyar. Belum ditambah dengan biaya untuk menyiapkan kesuksesan dirinya, yang bisa hingga puluhan milyar juga. Terbayangkah oleh kita, jika bukan karena seorang calon adalah orang kaya raya, mampukah dia untuk menyalonkan diri? Bahkan walau sekalipun dirinya adalah seorang incumbent yang menjalankan jabatan dengan “ideal”, saya kira kita sudah bisa lihat perbandingannya tak mampulah dia membiayai pencalonannya meski seluruh uang diperiodenya tersebut dikumpulkan.

Mari kita berpikir kritis. Dalam hukum ekonomi positif, biaya yang dikeluarkan harus sebanding dengan yang diperoleh plus margin sebagai keuntungan. Jika saya mengeluarkan uang 100 juta, maka bagaimanpun saya harus bisa memperoleh kembali uang 100 juta tersebut plus margin keuntungan dari biaya yang dikeluarkan. Jika hukum ekonomi ini “seandainya” diterapkan dalam sebuah jabatan kepala daerah, apa yang terjadi? Yang terjadi adalah hampir dipastikan segala kebijakan akan diarahkan untuk membuka dan memuluskan jalan memperoleh kembali biaya yang sudah dikeluarkan plus margin sebagai keuntungan. Dan mereka yang sudah turut serta “membantu” mendanai di saat pencalonan akan diberis reward sebagai kompensasi bantuan tersebut.

Jelas, ada yang dikorbankan. Siapa? Rakyat tentunya.

Melalui revisi UU Pemerintahan Daerah yang saat ini masih digodok di lembaga perwakilan rakyat, pemilihan gubernur diwacanakan akan dikembalikan seperti era orde baru, yakni dipilih secara tidak langsung atau dipilih oleh anggota DPRD Provinsi. Pemerintah beralasan pada tiga hal pokok, yakni 1). Political cost (biaya politik) pemilihan gubernur sangatlah tinggi dikarenakan mencakup luas wilayah yang sangat besar. Dan ini dianggap dapat membenani anggaran daerah dan juga pusat untuk membiayainya. 2). Gubernur hanyalah kepanjangan tangan pemerintah pusat yang hanya memiliki kewenangan melaksanakan koordinasi dan menjalankan kebijakan pemerintah pusat di daerah. Karena itu, pemerintah menilai gubernur tak perlu dipilih langsung. Cukup dipilih oleh lembaga perwakilan rakyat daerah saja. Dan 3). Jabatan Gubernur hanyalah jabatan yang bersifat administratif, dan bukan politis. Sehingga, gubernur dianggap tidak memiliki kewenangan lebih dalam menetapkan kebijakan-kebijakan strategis.

Namun, wacana ini tentu perlu pemikiran dan penilaian lebih lanjut untuk memastikan bahwa hak-hak rakyat tetap bisa terpenuhi dan yang lebih penting lagi adalah mampu menjalankan amanah dan menetapkan kebijakan secara baik dan benar.

Kita menjelang pemilihan gubernur ini semestinya sudah harus berpikir dan bersikap kritis dengan berefleksi pada kondisi dan situasi bagaimana keberlangsungan provinsi ini dalam kurun waktu 10 tahun ke belakang. Rasa-rasanya, kita membutuhkan penyegaran yang lebih memberikan semangat dan pencerdasan akan masa depan Babel yang lebih baik. Bukan hanya sekedar penyegaran sistem dan kondisi daerah, namun jika memungkinkan perlu penyegaran dalam sisi kepemimpinan. Maka dari itu, memilihlah dengan bijak.

Tidak ada komentar: