18 Juli 2008

AKIBAT MAFIA BBM

Langkanya BBM di Bangka Belitung serta tingginya harga merupakan salah satu faktor dari ketidaksiapan Pemerintah Daerah dalam menangani dan memberantas mafia BBM di daerah. Dalam laporan di berbagai media diberitakan bahwa BBM di Bangka Belitung sudah berada diambang krisis ketersediaan, terutama BBM jenis solar. Panjangnya antrian kendaraan untuk mengisi solar di seluruh SPBU merupakan pemandangan umum yang biasa ditemui. Untuk itu, dituntut perhatian besar Pemerintah Daerah dan stakeholders guna mengatasi krisis BBM di Babel akibat olah segelintir orang yang memanfaatkan situasi untuk memperkaya diri sendiri dengan cara yang kotor.

Adalah mafia BBM yang menjadi penyebab dari segala kekacauan ini. Mereka menjadikan faktor tingginya harga sebagai usaha untuk memperoleh pendapatan yang besar. Meski mereka melakukan cenderung individu atau dalam kelompok kecil, namun cara yang mereka lakukan cukup sistematis dan terukur, dan tak jarang melibatkan oknum aparat di dalamnya. Tak hanya itu, mereka juga mamanfaatkan situasi kelangkaan BBM ini untuk mamasang harga setinggi mungkin.

Telah lama dikenal bahwa Bangka Belitung merupakan daerah penghasil timah terbesar di Indonesia. Tingginya harga timah di pasar dunia merangsang masyarakat, baik dalam maupun dari luar Babel, untuk mengeksploitasi hasil alam tersebut. Maka, bermunculanlah tambang rakyat atau Tambang Inkonvensional (TI). Ditambah dengan dikeluarkannya peraturan daerah yang mempersilahkan rakyat untuk mengeksploitasi timah secara bebas, bak jamur dimusim hujan, TI inipun semakin tak terkendali. Hingga saat ini, tak kurang dari 20 ribu usaha tambang timah rakyat ini ada di Bangka Belitung. Tentu hal ini menjadi ladang pendapatan bagi mafia BBM untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Pada umumnya, tambang timah rakyat menggunakan mesin untuk menyemprot tanah yang mengandung timah dan menarik timahnya kepermukaan. Umumnya pula, mesin ini berbahan bakar solar. Maka, untuk tetap menjaga kelangsungan penambangan, ketersediaan solar menjadi sangatlah penting. Banyaknya permintaan akan solar di pasaran daerah, sementara solar yang ada sangat terbatas, menciptakan ketidakseimbangan harga sebagai akibat dari timpangnya neraca permintaan dan ketersediaan barang. Meski pemerintah pusat telah menetapkan harga resmi hanya Rp 5.500/liter, dan eceran yang tidak lebih dari Rp 6.500, namun fakta dilapangan sangatlah jauh berbeda.

Andil mafia BBM ini tidak hanya dalam bentuk penetapan harga yang sangat tinggi hingga ratusan ribu, tetapi juga dalam usaha mereka dalam mendapatkan BBM. Usaha yang paling umum digunakan adalah dengan cara memodifikasi kendaraan dengan meletakkan tanki solar yang berkapasitas cukup besar. Namun, yang justru lebih penting dari itu adalah adanya permainan antara mafia BBM, oknum aparat dan oknum SPBU itu sendiri. Mereka seperti membentuk kerangka kejatahan yang simbiosis mutualis dan jelas sangat merugikan banyak pihak.

Sulitnya memutus mata rantai dan memberantas mafia BBM menjadi cerminan dari lemahnya sistem pengawasan dan ketegasan aparat hukum dan pemerintah daerah. Situasi yang dihadapi saat ini adalah situasi dimana ketika persoalan kelangkaan BBM harus pula dibarengi dengan tingginya harga. Konsumen yang membutuhkan adalah pihak yang paling dirugikan dalam hal ini. Untuk menghadapi situasi ini, tentu aparat harus menindak tegas segala bentuk kejahatan sistematis seperti mafia BBM ini. Dan bukan rahasia lagi, oknum-oknum aparat terkadang turut terlibat pula di dalamnya.

Apa yang perlu dilakukan?
Pemerintah Daerah sebagai pengambil kebijakan mengambil peran terpenting untuk mengatasi mafia BBM ini. Berbagai upaya, mulai dari upaya persuasif hingga upaya preventif yang intens dan berkesinambungan, perlu terus menerus dibangun oleh Pemerintah Daerah. Upaya tersebut antara lain, pertama, Pemerintah Daerah perlu meninjau kembali kebijakan membuka peluang bagi tambang timah rakyat, terutama dalam memperketat izin penambangan, ruang lingkup serta keseimbangan lingkungan dan sosial. Dalam kerangka pemberantasan mafia BBM, Pemerintah Daerah perlu memperhatikan izin dan ruang lingkup penambangan ini dengan mempertimbangkan pada faktor dampak sosial masyarakat sebagai akibat krisis bahan bakar dan permainan mafia BBM.

Kedua, Pemerintah Daerah perlu membuat peraturan daerah, minimal keputusan gubernur, guna memperketat pengawasan penjualan BBM di tingkat eceran agar tidak melebihi ambang batas yang telah ditentukan. Sebab saat ini ada anggota masyarakat yang menjual BBM jenis solar hingga lebih dari Rp 200 ribu per 20 liter, bahkan tidak sampai 20 liter. Pengawasan ini juga mesti dilakukan secara berjenjang dan jika perlu diawasi oleh suatu lembaga independen.

Ketiga, Pemerintah Daerah juga perlu mengawasi pendistribusian BBM agar tidak jatuh ke tangan yang salah dan hanya mencari keuntungan semata. Pengawasan ini bisa menggunakan metode registrasi dimana setiap kendaran yang telah mengisi BBM wajib dicatat nomor kendaraannya. Untuk mengantisipasi kecurangan, semisal menggantikannya dengan kendaraan lain, maka Pemerintah Daerah dapat menambah pengawasannya dengan menggunakan kartu pintar atau kartu pengambilan. Setidaknya Pemerintah Daerah dapat meminimalisir kecurangan yang dilakukan oleh oknum dna mafia BBM.

Keempat, Pemerintah Daerah harus terus menerus berkoordinasi dengan aparat hukum supaya dapat melakukan tekanan dalam upaya menindak tegas semua pelaku mafia BBM, baik yang dilakukan oleh oknum masyarakat, terlebih-lebih apabila ada aparat yang juga terlibat didalamnya. Tekanan yang sama juga ditujukan kepada Pertamina dan pengusaha SPBU untuk tidak melakukan praktek mafia BBM dengan cara menimbun BBM yang mengakibatkan kelangkaan di pasaran. Selain itu, mereka juga harus mampu menindak tegas para karyawannya jika ada yang bermain-main dengan persoalan hajat hidup orang banyak ini. Kelangkaan BBM di Bangka Belitung tentu dapat teratasi apabila setiap pelaku ekonomi, mulai dari produsen sampai konsumen mampu berlaku jujur dan mengkedapankan keadilan. Mafia BBM hanya membuat kesengsaraan yang berkepanjangan.


Tidak ada komentar: