23 Januari 2009

ETIKA POLITIK DAN KEKUASAAN

Dimuat di Kolom Opini Bangkapos


Tidak ada aturan formal yang melarang seseorang untuk menjadi calon kepala atau wakil kepala daerah, dan pada saat yang bersamaan mencalonkan diri pula sebagai calon legislatif. Artinya, boleh saja seseorang mencalonkan diri di dua lembaga, eksekutif dan legislatif, tergantung mana yang lebih dulu didapat. Fenomena pencalonan di dua lembaga adalah lazim ditemui saat ini di beberapa daerah di Indonesia. Tidak adanya aturan yang menegaskan tentang dualisme pencalonan menjadi pembenar sekaligus penguat akan hasrat politik guna memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.


Dualisme pencalonan merupakan salah satu kelemahan dari tatanan politik Indonesia yang tertumpu pada kurangnya pemahaman akan etika politik dan kekuasaan. Hal ini juga menjadi jawaban, mengapa siklus politik Indonesia berjalan sangat lamban dan didominasi oleh segelintir orang tertentu saja. Kecenderungan tersebut diperparah lagi dengan tidak berjalannya sistem pengkaderan di kepartaian. Praktis, partai mengalami kesulitan untuk mendapatkan orang-orang yang berkualitas dan berkapasitas.


Di PDIP misalnya, sosok Megawati tak tergantikan oleh siapapun. Partai yang menganut sistem oligarki dalam kepemimpinan partainya ini, meski memiliki banyak kader militan, namun masih sangat sulit untuk menyaingi ketokohan Megawati. Demikian pula di PKB. Meski terjadi perpecahan di dalamnya, namun sosok Gusdur tidak dapat dilepaskan dari PKB, sebab berkaitan dengan garis tegas ikatan emosional bagi sebagian besar kaum Nahdiyin. Berbeda dengan Golkar, meski merupakan “anak biologis” dari Orde Baru, Namun diakui Golkar sekarang bertransform menjadi lebih moderat. Mereka dipandang lebih mampu melepaskan diri dari sentralisme kekuasaan, meski secara moral belum dapat dilepaskan dari Suharto sebagai kreatornya.


Setali tiga uang dengan pusat, di daerah, kepemimpinan partai juga masih didominasi oleh elit-elit tertentu. Maka lihatlah DCS yang telah dikeluarkan KPUD, wajah-wajah lama masih bertengger pada nomor urut jadi. Terlihat sekali keengganan elit partai untuk memberikan kesempatan pada kader lain guna memimpin. Tak hanya itu, seperti yang yang telah saya hantarkan di atas, dominasi kekuasaan masih dilakukan dengan juga mencalonkan diri sebagai kepala/wakil kepala daerah. Hal ini jelas menunjukkan fobia akan hilangnya kekuasaan dari tangannya (power sindrome).


Etika Politik dan Kekuasaan

Politik praktis merupakan pertarungan kekuatan dan pengaruh. Etika politik dianggap dunia ideal yang tidak mencerminkan realitas politik yang keras dan kerenanya sering terabaikan. Tak banyak orang yang mampu mengkedepankan etika dalam berpolitik, kecuali sebatas pada wacana semata. Etika politik tidak hanya mengatur perilaku politikus, namun juga mengatur segala institusi yang ada didalamnya. Etika politik mengandung aspek individual dan sosial. Aspek individual karena membahas masalah kualitas moral pelaku politik, sementara aspek sosial karena mereflekskan masalah hukum, tatanan sosial dan institusi yang adil (Haryatmoko,2003:25).


Bernhard Sutor menambahkan bahwa etika politik memiliki tiga dimensi yakni tujuan politik, sarana dan pilihan politik itu sendiri. Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat, dimensi sarana meliputi sistem dan prinsip-prinsip dasar pengorganisasian lembaga sosial dan politik, dan dimensi aksi politik menyangkut tentang rasionalitas dalam berpolitik.


Dengan demikian, etika politik sebetulnya lebih mengacu pada nilai dan cara pandang seseorang dalam berpolitik. Sederhananya, nilai ini pulalah yang kemudian memberikan batasan tentang apa yang etis dan tidak etis dilakukan, dan memberikan stimulus bagi perilaku politik.


Hakekatnya, politik praktis adalah cara untuk memperoleh kekuasaan, dan kekuasaan bisa saja diperoleh dengan cara yang legitimate maupun dengan kekerasan. Namun, kedua cara tersebut akan sangat dipengaruhi pada besar kecilnya dukungan masyarakat. Dukungan menjadi inspirasi paling utama untuk memperoleh kekuasaan, dan tanpa itu kekuasaan hanya menjadi status belaka. Dan ketika etika politik tidak menjadi landasan penting, maka tidak ada jaminan kekuasaan yang diperoleh akan dijalankan dengan sebaik-baiknya.


Pemikiran diatas memberikan suatu pertimbangan bahwa apakah dualisme pencalonan (sebagai calon kepala/wakil kepala daerah dan calon legislatif) tidak bertentangan dengan etika politik? Perlu dipertanyakan pula bagaimana orang-orang seperti ini memandang politik itu sendiri, apakah dipandang sebagai cara untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, atau sebagai lembaga profesi layaknya perusahaan?


Sepotong Kue Politik

Diakui, politik saat ini telah menjadi magnet bagi sebagian masyarakat untuk berkiprah didalamnya, terlepas dari motif yang mendasarinya. Ibarat sepotong kue, politik akan diperebutkan oleh para mereka yang berharap mendapatkan salah “potongannya”. Ditingkat pusat, KPU pusat menyatakan ada kurang lebih 22 ribu caleg yang telah mendaftarkan diri di 43 partai peserta Pemilu 2009. Di Bangka Belitung saja tak kurang dari seribuan orang mendaftarkan diri menjadi caleg. Suatu angka yang fantastis tentunya dimana mereka akan bertarung untuk memperebutkan 500 kursi di DPR pusat dan 45 kursi di DPRD Babel.


Banyaknya kehadiran partai politik di Indonesia dan makin mudahnya setiap orang untuk berkecimpung di panggung politik ditengarai atas membludaknya orang-orang yang ingin menjadi anggota legislatif. Tak hanya itu, diakui atau tidak, pemikiran sekarang memandang bahwa menjadi anggota dewan nantinya dapat merubah kehidupan mereka menjadi lebih baik. Bila bercermin dari kehidupan anggota dewan saat ini, bisa jadi sebetulnya pandangan inilah menjadi motif utama mayoritas orang-orang yang mendaftar mejadi caleg.


Namun yang pasti, dualisme pencalonan merupakan suatu perilaku politik yang tidak etis. Jika setiap orang memiliki hak yang sama untuk menjadi caleg, maka dualisme hanya menutup segala kemungkinan ini. Semoga etika politik menjadi pegangan utama para calon untuk menjadikan mereka lebih bijak dalam berpolitik.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Maklum mas.. negara lama, demokrasi baru..
(thanks, nice and clear article..)