Manifestasi dan implementsi dari korupsi dapat
dikatakan menyentuh pada dua hal pertama,
korupsi berkaitan dengan penyalahgunaan atau penyimpangan wewenang dan
kekuasaan oleh aparat pengambil kebijakan dan kedua melibatkan pengutamaan publik menjadi kepentingan pribadi.
Dari integrasi parameter tersebut, korupsi memberikan definisi yang luas.
Ketika setiap usaha yang berkaitan dengan urusan publik namun terdapat
kepentingan dibaliknya yang menyimpan kepentingan dan keuntungan pribadi maka
itu dapat dikategorikan sebagai perilaku korupsi.
Sementara itu, upaya pembebasan ruang sosial dari
belenggu korupsi sendiri menghadapi berbagai ujian dan tantangan. Sehingga
mengapa, masa depan dari pemberantasan mengalami sedikit kebuntuan. Berangkat
dari penegakan hukum yang lemah dan tak jarang hukum justru memihak sekaligus
cenderung partisan terhadap para koruptor serta kelompok tertentu. Aparat
penegak hukum pun bermain mata dengan koruptor. Sudah jamak bahwa lembaga
yudikatif menjadi tempat jual beli, banyak berkeliaran para mafia peradilan
yang menjual produk hukum. Hal ini kemudian membuat usaha pemberantasan korupsi
mengalami dilematisasi. Apalagi belum adanya good will dari pemerintah?
Track record penanganan korupsi sejak awal reformasi hingga sekarang, sudah berapa banyak para koruptor
yang tersenyum penuh kemenangan karena pengadilan dengan memutuskan
perkara serta tindakannya dengan
putusan bebas atau keringan hukuman. Maka, tak ayal masyarakat menjadi
pesimis dan cenderung tidak lagi percaya pada lembaga-lembaga negara. Ini tentu
pekerjaan penting yang harus terus menerus diperbaiki.
Begitu juga dengan sikap masyarakat yang cenderung
ada pemakluman terhadap fenomena sosial ini. Bahwa hal tersebut sudah menjadi
hal yang normal dalam sisi kehidupan masyarakat. Tengoklah seberapa besar peran
masyarakat dalam melakukan hambatan dalam penanggulangan penyakit korupsi ini.
Tindakan yang nyata bahkan tidak kelihatan sama sekali. Akibatnya, korupsi
telah berubah menjadi semacam budaya yang berkembang dalam masyarakat,
terbentuk akulturasi di sana.
Etika Politik dan Kekuasaan
Politik praktis merupakan pertarungan kekuatan dan
pengaruh. Etika politik dianggap dunia ideal yang tidak mencerminkan realitas
politik yang keras dan kerenanya sering terabaikan. Tak banyak orang yang mampu
mengkedepankan etika dalam berpolitik, kecuali sebatas pada wacana semata.
Etika politik tidak hanya mengatur perilaku politikus, namun juga mengatur
segala institusi yang ada didalamnya. Etika politik mengandung aspek individual
dan sosial. Aspek individual karena membahas masalah kualitas moral pelaku politik,
sementara aspek sosial karena mereflekskan masalah hukum, tatanan sosial dan
institusi yang adil (Haryatmoko,2003:25).
Bernhard Sutor menambahkan bahwa etika politik
memiliki tiga dimensi yakni tujuan politik, sarana dan pilihan politik itu
sendiri. Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya pencapaian kesejahteraan
masyarakat, dimensi sarana meliputi sistem dan prinsip-prinsip dasar
pengorganisasian lembaga sosial dan politik, dan dimensi aksi politik
menyangkut tentang rasionalitas dalam berpolitik.
Dengan demikian, etika politik sebetulnya lebih
mengacu pada nilai dan cara pandang seseorang dalam berpolitik. Sederhananya,
nilai ini pulalah yang kemudian memberikan batasan tentang apa yang etis dan
tidak etis dilakukan, dan memberikan stimulus bagi perilaku politik.
Hakekatnya, politik praktis adalah cara untuk
memperoleh kekuasaan, dan kekuasaan bisa saja diperoleh dengan cara yang legitimate maupun dengan kekerasan.
Namun, kedua cara tersebut akan sangat dipengaruhi pada besar kecilnya dukungan
masyarakat. Dukungan menjadi inspirasi paling utama untuk memperoleh kekuasaan,
dan tanpa itu kekuasaan hanya menjadi status belaka. Dan ketika etika politik
tidak menjadi landasan penting, maka tidak ada jaminan kekuasaan yang diperoleh
akan dijalankan dengan sebaik-baiknya.
Pemikiran diatas memberikan suatu pertimbangan
bahwa apakah dualisme pencalonan (sebagai calon kepala/wakil kepala daerah dan
calon legislatif) tidak bertentangan dengan etika politik? Perlu dipertanyakan
pula bagaimana orang-orang seperti ini memandang politik itu sendiri, apakah
dipandang sebagai cara untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, atau sebagai
lembaga profesi layaknya perusahaan?
Permasalahan korupsi tidak hanya berbentuk tunggal
melainkan ada keterlibatan baik secara struktural maupun kultural. Struktural karena
berhubungan dengan lingkaran kekuasaan dan juga faktor pendukung legal dari
kekuasaan tersebut, yaitu partai politik. Bila melakukan runutan maka peran
dari partai politik dalam melanggengkan korupsi memiliki signifikansi yang
penting. Mengapa, karena para penguasa yang duduk di lingkaran kekuasaan itu
terpilih lewat partai politik melalui mekanisme pemilu. Sehingga korelasi yang
terbangun menjelaskan ada keterkaitan parpol dengan melestarikan budaya korupsi
di tingkatan para elit. Pertanyaannya bagaimana menjelaskan fenomena ini?
Seperti yang kita pahami selama ini, pemilu
merupakan prosedur pemilihan untuk memilih wakil yang menjabat di level
birokrasi atau eksekutif maupun legislatif. Dari proses itu, terpilih elit politik
yang kemudian akan menjalankan tata pemerintahan. Namun kenyataannya, dalam
menjalankan amanah rakyat banyak terjadi penyimpanan di lingkup mereka. Seperti
penggelapan uang rakyat, korupsi, money
politic. Sehingga sistem yang ada hanya digunakan untuk melegitimasi
penyimpangan yang dilakukan. Suap, money
politic merupakan jalan sukses menuju kekuasaan, dan jelas pada saat
memegang kekuasaan nantinya akan mencari ganti pengeluaran yang pernah
digunakan Logikanya, seperti orang berdagang bagaimana mengembalikan modal yang
telah dikeluarkan kemudian mencari untung untuk melanjutkan usahanya sekaligus
memperkaya diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar