10 November 2012

Korupsi, Politik dan Etika Kekuasaan


Korupsi telah menjadi denyut nadi dan nafas kehidupan negeri ini, sehingga tidak heran jika popularitas bangsa ini tetap bertahan sebagai bangsa yang terkorup di dunia. Bagaimana tidak, bahwa setiap dimensi sosial telah menjadi ruang terbuka manifestasi serta implementasi dari praktik busuk ini. Korupsi bukan menjadi monopoli bagi penguasa di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif melainkan telah berubah ke arah milik publik secara luas. Dengan kepemilikan secara meluas tersebut membuat korupsi mendapat legalisasi dari masyarakat sehingga upaya pemberantasannya mengalami hambatan dan kesulitan.

Manifestasi dan implementsi dari korupsi dapat dikatakan menyentuh pada dua hal pertama, korupsi berkaitan dengan penyalahgunaan atau penyimpangan wewenang dan kekuasaan oleh aparat pengambil kebijakan dan kedua melibatkan pengutamaan publik menjadi kepentingan pribadi. Dari integrasi parameter tersebut, korupsi memberikan definisi yang luas. Ketika setiap usaha yang berkaitan dengan urusan publik namun terdapat kepentingan dibaliknya yang menyimpan kepentingan dan keuntungan pribadi maka itu dapat dikategorikan sebagai perilaku korupsi.

Sementara itu, upaya pembebasan ruang sosial dari belenggu korupsi sendiri menghadapi berbagai ujian dan tantangan. Sehingga mengapa, masa depan dari pemberantasan mengalami sedikit kebuntuan. Berangkat dari penegakan hukum yang lemah dan tak jarang hukum justru memihak sekaligus cenderung partisan terhadap para koruptor serta kelompok tertentu. Aparat penegak hukum pun bermain mata dengan koruptor. Sudah jamak bahwa lembaga yudikatif menjadi tempat jual beli, banyak berkeliaran para mafia peradilan yang menjual produk hukum. Hal ini kemudian membuat usaha pemberantasan korupsi mengalami dilematisasi. Apalagi belum adanya good will dari pemerintah?

Track record penanganan korupsi sejak awal reformasi hingga sekarang, sudah berapa banyak para koruptor yang tersenyum penuh kemenangan karena pengadilan dengan memutuskan perkara serta tindakannya dengan putusan bebas atau keringan hukuman. Maka, tak ayal masyarakat menjadi pesimis dan cenderung tidak lagi percaya pada lembaga-lembaga negara. Ini tentu pekerjaan penting yang harus terus menerus diperbaiki.
Begitu juga dengan sikap masyarakat yang cenderung ada pemakluman terhadap fenomena sosial ini. Bahwa hal tersebut sudah menjadi hal yang normal dalam sisi kehidupan masyarakat. Tengoklah seberapa besar peran masyarakat dalam melakukan hambatan dalam penanggulangan penyakit korupsi ini. Tindakan yang nyata bahkan tidak kelihatan sama sekali. Akibatnya, korupsi telah berubah menjadi semacam budaya yang berkembang dalam masyarakat, terbentuk akulturasi di sana.

Etika Politik dan Kekuasaan
Politik praktis merupakan pertarungan kekuatan dan pengaruh. Etika politik dianggap dunia ideal yang tidak mencerminkan realitas politik yang keras dan kerenanya sering terabaikan. Tak banyak orang yang mampu mengkedepankan etika dalam berpolitik, kecuali sebatas pada wacana semata. Etika politik tidak hanya mengatur perilaku politikus, namun juga mengatur segala institusi yang ada didalamnya. Etika politik mengandung aspek individual dan sosial. Aspek individual karena membahas masalah kualitas moral pelaku politik, sementara aspek sosial karena mereflekskan masalah hukum, tatanan sosial dan institusi yang adil (Haryatmoko,2003:25).

Bernhard Sutor menambahkan bahwa etika politik memiliki tiga dimensi yakni tujuan politik, sarana dan pilihan politik itu sendiri. Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat, dimensi sarana meliputi sistem dan prinsip-prinsip dasar pengorganisasian lembaga sosial dan politik, dan dimensi aksi politik menyangkut tentang rasionalitas dalam berpolitik.

Dengan demikian, etika politik sebetulnya lebih mengacu pada nilai dan cara pandang seseorang dalam berpolitik. Sederhananya, nilai ini pulalah yang kemudian memberikan batasan tentang apa yang etis dan tidak etis dilakukan, dan memberikan stimulus bagi perilaku politik.

Hakekatnya, politik praktis adalah cara untuk memperoleh kekuasaan, dan kekuasaan bisa saja diperoleh dengan cara yang legitimate maupun dengan kekerasan. Namun, kedua cara tersebut akan sangat dipengaruhi pada besar kecilnya dukungan masyarakat. Dukungan menjadi inspirasi paling utama untuk memperoleh kekuasaan, dan tanpa itu kekuasaan hanya menjadi status belaka. Dan ketika etika politik tidak menjadi landasan penting, maka tidak ada jaminan kekuasaan yang diperoleh akan dijalankan dengan sebaik-baiknya.

Pemikiran diatas memberikan suatu pertimbangan bahwa apakah dualisme pencalonan (sebagai calon kepala/wakil kepala daerah dan calon legislatif) tidak bertentangan dengan etika politik? Perlu dipertanyakan pula bagaimana orang-orang seperti ini memandang politik itu sendiri, apakah dipandang sebagai cara untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, atau sebagai lembaga profesi layaknya perusahaan?

Permasalahan korupsi tidak hanya berbentuk tunggal melainkan ada keterlibatan baik secara struktural maupun kultural. Struktural karena berhubungan dengan lingkaran kekuasaan dan juga faktor pendukung legal dari kekuasaan tersebut, yaitu partai politik. Bila melakukan runutan maka peran dari partai politik dalam melanggengkan korupsi memiliki signifikansi yang penting. Mengapa, karena para penguasa yang duduk di lingkaran kekuasaan itu terpilih lewat partai politik melalui mekanisme pemilu. Sehingga korelasi yang terbangun menjelaskan ada keterkaitan parpol dengan melestarikan budaya korupsi di tingkatan para elit. Pertanyaannya bagaimana menjelaskan fenomena ini?

Seperti yang kita pahami selama ini, pemilu merupakan prosedur pemilihan untuk memilih wakil yang menjabat di level birokrasi atau eksekutif maupun legislatif. Dari proses itu, terpilih elit politik yang kemudian akan menjalankan tata pemerintahan. Namun kenyataannya, dalam menjalankan amanah rakyat banyak terjadi penyimpanan di lingkup mereka. Seperti penggelapan uang rakyat, korupsi, money politic. Sehingga sistem yang ada hanya digunakan untuk melegitimasi penyimpangan yang dilakukan. Suap, money politic merupakan jalan sukses menuju kekuasaan, dan jelas pada saat memegang kekuasaan nantinya akan mencari ganti pengeluaran yang pernah digunakan Logikanya, seperti orang berdagang bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan kemudian mencari untung untuk melanjutkan usahanya sekaligus memperkaya diri.

Tidak ada komentar: