01 Februari 2008

Di Sebuah Taman Kampus

Sekilas tidak nampak keistimewaan padanya. Layaknya gadis yang tumbuh dewasa, dia cantik, berkulit kuning langsat, tubuh tinggi semampai dengan pakaian yang kasual tetapi tetap sopan dan dibalut kerudung yang hampir setiap hari diikat dengan variasi yang berbeda. Warna kesukaannya adalah merah muda, menandakan kelembutan, selembut warna kesukaannya. Dia mahasiswi semester akhir di dua universitas terkemuka di Jogja. Bicaranya lancar selancar kendaraan yang melaju di jalan tol, tetapi tegas dan berwibawa. Bahasa Inggrisnya heh...jangan ditanya. Menginap sementara, kurang lebih lima tahun di negeri patung Liberty membuatnya tak ubah seperti angsa putih Walt Disney.

Lia, demikian namanya dipanggil. Lia yang muda, cantik, segudang prestasi dan disukai banyak orang. Bagi yang mengenalnya dengan baik, dia adalah sosok yang bukan tipe pendiam. Hari-harinya dipenuhi dengan dua telepon genggam yang selalu berbunyi dan menyuruhnya beranjak lalu pergi. Mungkin motonya adalah “tiada hari tanpa kesibukan”. Lia adalah seorang pemikir bebas dan mandiri. Namun hanya sedikit yang tahu bahwa dia juga seorang ambisius tulen. Buku agendanya penuh berisi jadwal dan terget yang harus dicapai.

Hingga di suatu siang di taman kampus, Lia datang menghampiri temannya seoarang perempuan lalu berucap,

“Aku ingin menikah segera rasanya”

“Secepat itukah”, tanya temannya.

“Ya...”

“Bagaimana dengan ambisimu mengenai masa depan? Apa dirimu sanggup mengganti habit baru yang konon katanya lebih kompleks?”, tanya teman perempuannya lagi mencecar dengan mimik serius.

“Bukankah menjadi ibu adalah ambisi yang paling sempurna?”,jawabnya meyakinkan.

“Aku tidak mencoba menghilangkan ambisiku. Hanya berbagi dan memahami bahwa ambisi juga merupakan tanggung jawab bahwa aku tidak sendiri”,katanya lagi menambahkan.

Dalam konteksnya, ambisi adalah semangat, bahan bakar pendorong hati untuk bergerak mencapai tujuan. Ambisi merupakan perpaduan antara harapan, realitas dan keyakinan perwujudan. Ambisi dianggap realistis jika kondusif dan sinergis dengan kemampuan. Meski kadangkala mesti ditempatkan pada keterbatasan. Ambisi bagaimanapun akan selalu bersifat positif. Karenanya tidak perlu dibatasi. Biarkan dia mengalir seperti sungai, berkembang seperti bunga mekar, melambung seperti jiwa-jiwa yang syahdu.

Kembali ke kasus Lia bahwa dia mencoba menempatkan ambisi pada tempatnya, tanpa merasa terbebani dengan ambisi itu sendiri. Baginya, ambisi bukanlah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Sampai di sini, coba ambil bulu ayam dan korek kuping kita dengannnya. Ambisi tetap sesuatu yang perlu dinikmati. Seperti bulu ayam yang dijadikan alat pengorek kuping. Nimati saja, enak bukan?

Tidak ada komentar: