06 Februari 2008

Perempuan Juga Manusia

Rasanya waktu seakan berjalan lambat dalam sebuah diskusi yang menurutku biasa-biasa saja. Sebetulnya diskusi tersebut cukup menarik bertemakan ”Perempuan dan Kekuasaan”. Hanya saja mungkin badanku terlalu capek, sebab hari ini aku ada tiga mata kuliah yang harus dihadiri. Belum lagi malamnya aku hanya tidur tidak lebih dari empat jam. Praktis di dalam kelas aku seperti antara sadar dan tidak mendengarkan dosen berbicara tentang mata kulaih yang diampunya.

Seperti yang kubilang tadi, tema ”Perempuan dan Kekuasaan” cukup menarik untuk didiskusikan.

”Perempuan adalah objek kekuasaan. Sistem patriarki yang berlangsung sejak lama menempatkan perempuan dalam subordinat laki-laki. Dan ini terus menerus berlangsung. Oleh karena itu, pandangan terhadap kekuasaan harus diubah. Sebab posisi perempuan dan laki-laki adalah sejajar. Perempuan dan laki-laki dapat menjadi mitra yang equal,”demikian salah seorang pembicara menyampaikan pendapatnya dalam forum tersebut.

Strong women adalah sebuah istilah yang ditujukan bagi perempuan yang gigih. Namun, strong women bukan berarti melupakan karakter diri dari perempuan. Agaknya menarik juga untuk didiskusikan sebuah opini kontroversi dimana terdapat dua tanda dalam diri perempuan, pertama, dia lemah dan yang kedua, suka menangis.

Lemah seringkali diartikan sebagai ketidakberdayaan, baik fisik maupun mental. Sementara menangis merupakan efek atau manifestasi dari ketidakberdayaan itu. Menangis adalah kondisi terendah dari kelemahan yang ditunjukkan oleh perempuan. Pertanyaannya adalah apakah lemah yang dimaksud merupakan sifat kodrati, yang timbul dan terlahir karena ciptaanNya atau sebetulnya lebih merupakan stigma yang terus menerus dikembangkan dari proses dominasi pria terhadap perempuan? Kemudian apakah menangis pertanda lemah?

Jika lemah merupakan sifat kodrati hasil ciptaan Tuhan, dengan demikian maka logika akan berkata bahwa ternyata Tuhan itu bergolongan pria. Dia ciptakan perempuan bersifat lemah karena tidak ingin perempuan lebih perkasa dari golonganNya sendiri. Tetapi agaknya ini anggapan yang naif sebab bukankah Tuhan Maha Pencipta yang sempurna.

Pastinya, pandangan subjektif kaum pria memiliki kontribusi yang besar dalam menjustifikasi demikian agar mungkin saja ada keseimbangan sebagaimana pria lebih mengkedepankan rasionalitas, sementara perempuan lebih mengkedepankan perasaan.

Benarkah? Sulit untuk dibuktikan memang. Namun yang jelas jangan tanya saya. Saya pria. Secara pribadi, saya tidak setuju kalau lemah diartikan sebagai ketidakberdayaan, baik fisik maupun mental. Perempuan hamil menahan beban selama kurang lebih sembilan bulan apa bisa dikatakan lemah? Kemudian melahirkan yang konon kata perempuan yang sudah mengalami, sakitnya hampir seperti nyawa pada waktu hendak dicabut oleh malaikat Izrail. Lalu lemahnya dimana? Entahlah saya sendiri bingung.

Lau mengapa perempuan menangis? Inilah sebetulnya kelemahan pria terbesar karena terhalang dinding keterbatasan penegtahuan yang dimiliki Ilahi Rabbi. “Ini adalah air mata kehidupan. Maka biarkanlah ini menjadi rahasia terbesar yang hanya diketahui perempuan dan Tuhan”.

Tidak ada komentar: