14 Juni 2011

DEMO DAN KRITIS SOSIAL


Aksi demonstrasi yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini telah menjelma menjadi trend setter pada hampir setiap aksi yang dilakukan oleh mahasiswa dalam menuntut penyelesaian suatu persoalan. Bagi sebagian besar kalangan mahasiswa, aksi demo dengan turun ke jalan, misalnya, merupakan cara yang paling efektif guna memberikan tekanan-tekanan politik pada orang-orang atau institusi-institusi yang membuat masalah. Aksi demo 1998 adalah salah satu bukti empiris yang mengindikasikan hal tersebut. Tanpa ada tendensi apapun, baiklah, itu adalah bukti penting dalam perjalanan sejarah panjang Bangsa Indonesia yang, sekali lagi, ditorehkan oleh mahasiswa. Namun, persoalannya apakah proses kritisisasi permasalahan yang ada hanya bisa dipecahkan melalui demo? Dan pernahkah terpikirkan seberapa besar aksi tersebut bisa merubah kondisi sosial masyarakat tanpa harus membuat persoalan baru dalam masyarakat akibat aksi yang dilakukan?

Saat ini, kita seolah-olah terjebak oleh nostalgia yang menggambarkan betapa demonstrasi yang dilakukan bisa menghasilkan banyak perubahan tatanan kehidupan sosial masyarakat. Sehingga kecenderungan yang nampak adalah bahwa segala persoalan harus dijawab dengan demonstrasi. Ironisnya bahkan seringkali demo adalah cara utama yang digunakan dalam menjawab persoalan tersebut. Justru stigma inilah yang harus dikritisi. Terlalu lama terlena dengan masa lalu membuat kita tak mampu lagi berpikir panjang untuk menjawab parmasalahan.

Kondisi sosial masyarakat saat ini butuh perhatian lebih, tidak sekedar aksi yang menuntut persoalan untuk segera diselesaikan. Dengan kata lain, perhatian dengan tindakan-tindakan nyata (konkrit) merupakan aksi yang lebih diinginkan masyarakat. Semua orang meyakini bahwa aksi demo merupakan salah satu bentuk kepedulian sosial. Hal ini untuk menunjukkan bahwa masyarakat tidak berjuang sendiri. Bersama-sama mahasiswa, masyarakat bergerak memperjuangkan kepentingan mereka. Namun, indikasi kejenuhan sudah mulai nampak di “muka” masyarakat, karena aksi yang dilakukan tidak membawa perubahan yang signifikan. Mengapa? Penyebab terbesar justru datang dari kalangan mahasiswa sendiri. Pertama, ideologi. Fenomena yang ada belakangan ini mengindikasikan gerakan mehasiswa sudah sangat ideologis, sehingga meski tujuannya sama, faktor ideologis sering menjadi penghambat satunya gerakan. Kedua, orientasi, akibat kentalnya ideologi yang dibawa, terjadi polarisasi dalam gerakan mahasiswa. Kelompok-kelompok mahasiswa pada akhirnya mengusung kepentingan mereka sendiri (group oriented). Ketiga, kebanyakan aksi mengusung persoalan yang bersifat nasional, dan jarang mengusung persoalan yang terjadi di masyarakat. Padahal bila disadari, signifikansi kepedulian sosial justru terletak pada bagaimana persoalan yang riil dihadapi masyarakat bisa terselesaikan.

Walau begitu, aksi demo tetap patut untuk dihargai karena hal tersebut, sekali lagi, merupakan salah satu bentuk kepedulian mahasiswa terhadap lingkungan sosial mereka. Sekarang yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mengasah kepedulian sosial dengan cara berbeda, dan itu berarti mengurangi intensitas aksi demonstrasi. Terlepas dari segala kekurangan yang ada dalam konsep dan operasional program Kuliah Kerja Nyata (KKN), penting mengkategorikan program KKN sebagai alternatif bentuk kepedulian mahasiswa terhadap lingkungan sosial masyarakat. Terlepas pula dari kewajiban kuliah, program ini tentunya dimaksudkan untuk lebih memberikan pembelajaran kepada mahasiswa dengan cara terlibat langsung dalam persoalan masyarakat, merasakan kesulitan-kesulitan sekaligus mengambil keputusan dan tindakan yang tepat untuk mengatasinya. Selain itu, kegiatan mandiri Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) perlu dinilai pula sebagai alternatif bentuk kepedulian sosial. Dalam banyak kasus, bahkan, kehadiran mereka sangat dibutuhkan masyarakat.

“Persoalan-persoalan kecil” seperti ini yang terkadang sering terlupakan, bahkan tak jarang diremehkan. Bentuk kecil, tetapi nyata dan mengena langsung pada persoalan masyarakat bernilai lebih baik daripada sekedar berdemo menuntut penyelesaian.

Tentunya, masih banyak lagi alternatif lain yang bisa diterapkan untuk menunjukkan kritis sosial atas permasalahan yang dihadapi masyarakat. Dua contoh di atas merupakan sebagian kecil dari metode kita untuk menujukkan kepedulian sosial, sekaligus sedikit demi sedikit mulai menumbuhkan kesadaran bahwa demo bukanlah satu-satunya cara untuk mengatasi persoalan. Hanya menuntut tidak akan menyelesaikan masalah, tanpa ada tindakan nyata. Adalah keniscayaan bagi seorang mahasiswa untuk berpikir kritis dan peduli terhadap kehidupan sosial karena mahasiswa hidup dalam lingkaran tersebut. Namun sekali lagi, sentuhan kepedulian akan lebih terasa dan bernilai di mata masyarakat apabila membawa perubahan yang nyata dan signifikan. Karena masyarakatlah yang hanya bisa menilai mana yang baik dan mana yang lebih baik.

Tidak ada komentar: