15 Juni 2011

MENAKAR KETERPILIHAN KANDIDAT

Sesuatu yang paling menarik dalam setiap suksesi kepala daerah adalah bagaimana memetakan pola dan perilaku memilih masyarakat yang secara de facto sangat berperan dalam keterpilihan seorang kandidat. Sebab, tak jarang seorang kandidat gagal dalam mengukur pola dan perilaku memilih masyarakat ini. Sepertinya terkesan masyarakat mendukung dirinya. Namun dalam perhitungan akhir justru ternyata hanya sedikit masyarakat yang memilihnya. Kecermatan dalam melihat setiap pergerakan menjadi mutlak dimiliki oleh setiap kandidat maupun oleh tim suksesnya.

Keikutsertaan masyarakat dalam pemkada merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan. Kalau memutuskan memilih, maka mana yang dipilih? Mengapa masyarakat atau pemilih memilih kandidat tertentu dan bukan yang lain? Pertanyaan ini dapat digunakan dengan lima pendekatan, yakni struktural, sosiologis, ekologis, psikologi sosial dan pilihan rasional (Ramlan Surbakti, 1992: 145-146).

Pendekatan struktural melihat kegiatan memilih sebagai produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum (atau pilkada), permasalahan dan program yang ditonjolkan oleh setiap partai. Struktur sosial yang menjadi sumber kemajemukan politik dapat berupa kelas sosial atau perbedaan-perbedaan antara majikan dan pekerja, agama, perberdaan kota dan desa, dan bahasa serta nasionalisme.

Pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Konkretnya, pilihan seseorang dalam pemilihan dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti jenis kelamin, tempat tinggal (kota – desa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan dan agama.

Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaaan karakteristik pemilih berdasarkan unit teritorial seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Kelompok masyarakat seperti tipe penganut agama tertentu, buruh, kelas menengah, mahasiswa, suku tertentu, subkultur tertentu dan profesi tertentu bertempat tinggal pada unit teritorial sehingga perubahan komposisi penduduk yang tinggal di unit teritorial dapat dijadikan sebagai penjelasan atas perubahan hasil pemilihan.

Pendekatan psikologi sosial digunakan untuk menjelaskan perilaku memilih pada pemilihan berupa identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atau partai-partai yang ada atau ketertarikan emosional pemilih terhadap partai atau orang tertentu. Konkretnya partai atau individu yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai atau individu yang selalu dipilih tanpa terpengaruh faktior-faktor lain.

Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih, pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai atau kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak.

Lima pendekatan di atas merupakan suatu model pendekatan yang lazim dalam memproyeksikan bagaimana pola dan perilaku memilih masyarakat. Setiap bentukan politik dan sosial yang terjadi dalam suatu tatanan masyarakat akan memberi pengaruh besar terhadap pola dan perilaku memilih ini. Bagi aktor maupun lembaga politik tentunya pola dan perilaku memilih masyarakat ini akan menjadi cerminan apakah akan membawa keuntungan atau tidak bagi mereka. Perubahan-perubahan akan pola perilaku memilih masyarakat akan sangat mempengaruhi konstelasi politik ke depan.

Rekayasa politik adalah salah satu upaya untuk mempengaruhi keadaan agar lebih menguntungkan secara politis. Banyak cara yang digunakan untuk ini, antara lain misalnya dengan menggiatkan kinerja pada tahun-tahun terakhir bagi mereka yang sudah menjabat (incumbent), atau dengan sering-sering muncul di media massa dan berinteraksi langsung dengan masyarakat bagi yang incumbent maupun bagi pendatang baru (new comer).

Perliku memilih rakyat Indonesia pada dasarnya masih dipengaruhi oleh faktor sosiologi dan psikologi sosial masyarakat. Mengapa? Hal ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut. Pertama, relasi sosial yang dihubungkan dengan ikatan keluarga masih sangatlah kentara. Tentunya, antara keluarga satu dengan lainnya akan saling memberikan dukungan dan bantuan jika ada salah seorang dari anggota keluarga mereka yang akan menjadi calon pemimpin daerah. Nilai yang dianut dalam hal ini adalah kebanggaan dan kehormatan keluarga.

Kedua, relasi sosial yang dihubungkan dengan ikatan etnisitas dan agama juga masih cukup besar. Faktanya bahkan tak jarang “dibuat” agar saling bergesekan dan menimbulkan sentimen politik dan sosial yang tinggi. Agama dan etnis dalam beberapa pengalaman pemkada bahkan sering dijadikan rekayasa politik kotor (black campaign). Berdasarkan hal ini, maka nilai yang dianut oleh masyarakat adalah persamaan keyakinan dan karakter lokal.

Ketiga, relasi sosial yang dihubungkan dengan ikatan emosional berdasarkan persamaan organisasi dan sebagainya. Ikatan emosional merupakan suatu hubungan unik yang penekanannya bukan pada ikatan kekeluargaan, agama maupun etnis, namun lebih pada adanya persamaan emosi atau perasaan senasib sepenanggungan dalam suatu wadah tertentu. Ikatan emosional juga berkembang pada persepsi dan asumsi pada individu-individu tertentu yang memiliki kharisma. Jika ikatan emosional seseorang dengan individu tertentu sudah tinggi, akan sangat memungkinkan bagi seseorang untuk memilih individu tersebut tanpa mempertimbangkan lagi faktor-faktor lainnya.

Keempat, politik uang (money politic). Bukan rahasia lagi bahwa money politic masih menjadi salah satu usaha untuk mempengaruhi perilaku memilih masyarakat. Rasionalitas memilih masyarakat berbanding terbalik dengan usaha yang dilakukan oleh para kandidat kepala daerah dengan mengedarkan sebanyak mungkin uang di masyarakat. Problemnya adalah pada sebagian masyarakat masih menganggap lumrah dengan realita ini. Sehingga, pada akhirnya membuka peluang bagi individu-individu tertentu untuk memanfaatkan celah kelumrahan ini.

Tidak ada komentar: