16 Juni 2011

PILKADA DAN REFLEKSI PEMBANGUNAN DAERAH

Sebuah hajatan besar, ”pesta” demokrasi kembali akan berlangsung di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Untuk kesekian kalinya pula, masyarakat kembali akan dihadapkan pada pertarungan politik para calon dengan trik dan intrik yang manis dan propagandis. Pertanyaan yang paling penting adalah apakah masyarakat bisa menilai secara arif bakal calon yang akan mereka pilih guna memimpin daerah ini hingga lima tahun ke depan dengan pertimbangan yang objektif berdasarkan dinamika daerah yang berlangsung selama ini.

Refleksi Pembangunan Daerah

Sejak disahkan sebagai propinsi sendiri, Bangka Belitung sedikit banyak telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Banyak sisi-sisi positif yang berkembang di negeri Serumpun Sebalai saat ini. Perkembangan-perkembangan seperti ini merupakan langkah konkrit yang tentu harus tetap dipertahankan. Meski demikian tentunya tetap ada sisi-sisi negatif yang belum tersentuh untuk dilakukan perubahan. Dalam konteks seperti inilah masyarakat dituntut untuk mampu menilai secara arif dan bijak bagaimana mereka memandang berbagai dinamika tersebut guna kepentingan masyarakat di masa yang akan datang.

Ada beberapa aspek yang mungkin perlu diperhatikan oleh masyarakat dalam menilai perkembangan daerah saat ini, antara lain pertama, aspek akomodatif, dalam artian apakah terbentuknya propinsi sendiri saat ini berkontribusi terhadap kemajuan masyarakat. Ukuran-ukuran dalam aspek ini seperti kesejahteraan, terpenuhinya kebutuhan vital masyarakat, pemberantasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan lain sebagainya.

Kedua, aspek edukatif dan informatif, dalam artian apakah masyarakat telah mendapatkan nilai-nilai edukasi dan kebebasan dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan sebagai pendukung utama dalam setiap perkembangan daerah. Ukuran-ukurannya adalah seperti adanya perbaikan dibidang pendidikan, terbukanya akses-akses informasi yang faktual, adanya perubahan pola pikir masyarakat yang lebih baik, dan sebagainya.

Ketiga, aspek akuntabilitas dan refomasi birokrasi, dalam artian apakah pemerintah daerah selama ini telah mampu menciptakan good governance di tingkat lokal. Ukuran-ukuran dalam aspek ini adalah seperti pemerintahan yang bersih dari KKN, transparansi pemerintahan, aksesibilitas, penegakan hukum, dan lain-lain.

Keempat, aspek sosial dan politik, dalam artian apakah bahtera propinsi yang dijalankan selama ini telah mulai mampu menciptakan situasi sosial dan politik yang kondusif bagi masyarakat. Ukuran-ukurannya adalah seperti adanya pendidikan politik bagi masyarakat, bekerjanya lembaga-lembaga sosial dan politik, dan sebagainya. dan…

Kelima, aspek kepemimpinan, dalam artian apakah para pemimpin daerah selama ini pula telah mampu melayani masyarakat secara maksimal dengan penuh tanggung jawab dan memenuhi harapan sebagian besar masyarakat. Ukuran-ukuran dalam aspek ini adalah seperti adanya prioritas pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, kebijaksanaan dalam memimpin daerah, pelaksanaan visi dan misi daerah secara maksimal dan komprehensif, dan lain sebagainya. Untuk menilai secara arif kesemua aspek ini memang tidaklah mudah. Dalam realitasnya, ada masyarakat yang merasa mendapatkan perhatian dan ada pula yang kurang mendapat perhatian. Tentunya keadaan seperti ini hanyalah persoalan waktu dimana masyarakat mendapatkan hak-hak mereka dan harapan-harapan mereka dari pemerintah daerah.

Pilkada dan Momentum Demokrasi Langsung di Tingkat Lokal

Saat ini Pilkada memiliki arti penting dalam rangka mengisi tampuk kepemimpinan suatu daerah. Pilihan untuk melaksanakan Pilkada secara langsung mungkin langkah yang tepat untuk memperoleh penyelenggaraan Pilkada secara demokratis berdasarkan UU No. 32/2004. Meski perdebatan cukup kencang mengenai apakah pemilihan secara langsung adalah upaya terbaik untuk mencapai demokratisasi di daerah, namun pilihan untuk menyelenggarakan Pilkada secara langsung juga perlu dihargai. Mengingat pentingnya arti seorang pemimpin bagi masyarakat. Sehingga persoalan like and dislike, populer and unpopuler menjadi tolak ukur yang terpenting bagi masyarakat, selain kemampuan kepala daerah untuk memimpin daerah ini.

Dengan demikian, Pilkada langsung bisa dikatakan pula dikatakan sebagai sebuah momentum bagi penyelenggaraan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Mengapa demikian? Sebetulnya, dalam berbagai pemilihan apapun, masyarakat hanya dihadapkan pada dua pilihan pokok, yakni memilih atau tidak memilih (golput). Dalam menetapkan pilihanpun masyarakat memiliki kebebasan secara mutlak, tanpa paksaan, pengaruh yang berlebihan, dan sebagainya. Tidak memilih sekalipun merupakan sebuah pilihan. Inilah demokrasi (dalam penerjemahan sederhana) yang menyandarkan pertimbangan pada kesadaran orang per orang.

Bagi pemerintahan daerah yang baru terbentuk seperti Propinsi Kepulauan Babel ini, membentuk kesadaran berpolitik masyarakat berdasarkan kaedah berdemokrasi seperti itu bukanlah hal yang mudah. Perlu keterlibatan yang komprehensif dari stakeholders, dan yang lebih penting adalah adanya komitmen yang tinggi dari berbagai elemen masyarakat, parpol, lembaga-lembaga informal masyarakat dan dari pemerintah daerah sendiri.

Pilkada dan Visi Kedaerahan

Dalam visi propinsi disebutkan bahwa visi propinsi adalah terwujudnya Negeri Serumpun Sebalai yang sejahtera melalui pemerintahan yang amanah dengan meningkatkan kualitas masyarakat serta memberdayakan semua potensi daerah secara arif dan berwawasan lingkungan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (selayang pandang perkembangan pembangunan propinsi kep. Babel). Dalam visi ini paling tidak terdapat empat hal pokok yang menjadi pedoman bagi pemerintah propinsi dalam menjalankan pemerintahannya, yakni pertama, mewujudkan daerah yang sejahtera, kedua, mewujudkan pemerintahan yang amanah, ketiga, meningkatkan kualitas masyarakat, dan keempat, memberdayakan semua potensi daerah secara arif dan berwawasan lingkungan.

Agaknya memang terlalu dini untuk menilai bahwa kesejahteraan di Babel telah terwujud. Setidaknya dari data yang dipaparkan Gub. Prop Kep Babel menyebutkan bahwa masih ada lebih dari 130 ribu atau berkisar 12,6% penduduk Babel yang berstatus miskin. Dalam paparan yang sama, pemerintah propinsi telah menempatkan pengentasan kemiskinan ini sebagai prioritas utama pembangunan daerah. Ke depan, ini akan menjadi pekerjaan rumah yang perlu segera dibuatkan langkah konkritnya oleh siapapun nanti yang terpilih menjadi kepala daerah.

Mewujudkan pemerintahan yang amanah merupakan persoalan yang cukup kompleks. Yang terpenting dari perwujudan pemerintahan yang amanah adalah persoalan mentalitas dan komitmen pejabat publik, dan orang-orang yang terlibat langsung dalam pemerintahan di berbagai jenjang jabatan. Pemerintahan yang amanah adalah pemerintahan yang bersih dari KKN, berorientasi pada pelayanan kepada masyarakat, bertanggung jawab dan menunjukkan tauladan yang semestinya sebagai seorang pemimpin masyarakat.

Selanjutnya, untuk meningkatkan kualitas masyarakat haruslah dimulai dari adanya perubahan pola pikir masyarakat itu sendiri. Perubahan hanya bisa diperoleh melalui pendidikan yang memadai. Adalah omong kosong kualitas masyarakat bisa meningkat jika masyarakat tidak berpendidikan. Pendidikan dengan demikian harus betul-betul menjadi perhatian yang utama untuk ditingkatkan.

Saat ini dan kedepan, pemerintah propinsi harus betul-betul arif dalam menentukan dan menetapkan apa-apa yang akan menjadi nilai unggulan daerah. Pemberdayaan semua potensi secara arif dan berwawasan lingkungan adalah sebuah keniscayaan. Selain itu pemerintah propinsi juga harus betul-betul memikirkan aspek jangka panjang dari nilai unggulan tersebut. Apakah akan berdampak positif atau justru negatif bagi keberlangsungan ekonomi daerah dan masyarakat. Yang terpenting dari sebuah pemberdayaan adalah kesinambungan atau keberlanjutan. Sebab propinsi ini dibentuk bukan untuk sementara. Ketegasan, ketepatan dan kebijaksanaan dalam menetapkan kebijakan menjadi mutlak dimiliki oleh pemimpin daerah ini nantinya.

Tidak ada komentar: