14 Juni 2011

Kepemimpinan Dalam era Demokrasi

Salah satu pondasi dasar dari pandangan dan pemikiran demokrasi adalah kemajemukan dan menghargai perbedaan. Selain itu, Demokrasi juga dipandang sebagai nilai bersama suatu bangsa dalam membangun sistem pemerintahan negara yang bersumber dari rakyat. Dengan kata lain, demokrasi menjadi sebuah pre-skripsi yang bermuatan nilai moral dan menjadi sebuah norma. Keberhasilan suatu bangsa dan suatu negara tidak hanya diukur dari neraca perekonomian, tingkat kesejahteraan dan pendidikan, tetapi juga diukur melalui seberapa jauh suatu bangsa dan negara melaksanakan demokrasi dengan bentuk tertentu dari demokrasi yang dianggap sebagai bentuk ideal sebagai patokan ukuran keberhasilan pelaksanaan demokrasi.

Untuk memahami demokrasi, ada dua pendekatan yang sering digunakan para ilmuwan politik. Pertama, secara normatif dimana demokrasi dipahami sebagai sesuatu yang secara ideal hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh suatu negara (demokrasi diartikan sebagai tujuan atau resep tentang bagaimana demokrasi itu seharusnya). Pengertian umum ini dapat dilihat dari ungkapan bahwa demokrasi itu adalah pemerintahan oleh rakyat dari rakyat dan untuk rakyat.

Kedua, secara empiris dimana demokrasi berkenaan dengan perwujudannya dalam kehidupan politik praktis dan sistem politik yang ada. Banyak teori tentang demokrasi itu berada pada tingkat normatif, sementara literatur tentang demokratisasi dicirikan oleh pendekatan empiris. Kriteria-kriteria untuk melihat sebuah bentuk pemerintahan demokratis atau tidak bersumber pada pendekatan empiris ini. Walaupun penerapan demokrasi di beberapa tempat melahirkan bentuk demokrasi yang beragam, akan tetapi ada kriteria universal yang berlaku bagi semua tempat yang melaksanakan demokrasi.

Kriteria universal untuk mengukur demokrasi itu dapat dibagi menjadi lima (Afan Gaffar, 2000: 7) yaitu:

1. Akuntabilitas.

Setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya.

2. Rotasi kekuasaan.

Dalam demokrasi peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada dan dilakukan secara teratur serta damai. Tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan sementara peluang orang lain tertutup sama sekali.

3. Rekrutmen politik terbuka.

Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan adanya suatu sistem rekrutmen politik yang terbuka. Artinya setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik dengan dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut

4. Pemilihan umum.

Dalam suatu negara demokrasi pemilu dilakukan secara teratur dan setiap warga negara yang sudah cukup dewasa mempunyai hak untuk dipilih serta memilih tanpa ada rasa takut atau paksaan dari orang lain.

5. Menikmati hak-hak dasar.

Setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk didalamnya adalah hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk menikmati kebebasan pers, dan hak untuk berkumpul dan berserikat.

Dalam segala bentuk pemerintahan, demokrasi tentunya merupakan suatu bentuk yang paling baik, atau paling tidak ia memiliki kelemahan paling sedikit dibandingkan bentuk pemerintahan lainnya. Bentuk pemerintahan yang demokratislah yang menjadi substansi dari reformasi dan menjadi kehendak segenap rakyat Indonesia, termasuk pula model kepemimpinan yang hendak diselenggarakan didalamnya. Persoalannya, di tengah derasnya arus demokratisasi ala barat saat ini, bagaimana sebetulnya konsep kepemimpinan yang berlandaskan pada nilai-nilai demokrasi yang bersumber dari nilai dan norma yang dianut oleh Bangsa Indonesia? Penjabaran dari konsep ini nantinya diharapkan akan memberikan pemahaman yang komprehensif tentang kepemimpinan Indonesia di era demokrasi.

10 tahun telah berjalan sejak reformasi semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara digulirkan, dinamika kehidupan sosial dan politik bangsa saat ini kembali memanas, seiring Pemilu yang sebentar lagi akan dilaksanakan di tahun 2009 mendatang. Pasang surut nilai kepercayaan masyarakat terhadap tatanan politik yang ada dan kepemimpinan yang diselenggarakan terus terjadi. Salah satu sumbernya adalah dimana konstelasi sosial politik yang dilahirkan selama ini, dirasakan masih jauh dari harapan masyarakat secara luas. Malah tak jarang masyarakat dihadapkan pada suatu kondisi yang serba sulit. Infrastruktur dan regulasi yang masih semrawut, degradasi moralitas, sistem politik yang tidak stabil, dan sebagainya adalah kondisi-kondisi yang dihadapi masyarakat saat ini. Karena itu, wajar apabila kemudian masyarakat menuntut perlunya perbaikan dan perubahan yang lebih mendasar dan berkepentingan bagi semua orang.

Salah satu yang membuat ‘cedera’ bangsa Indonesia saat ini belum sembuh secara total diantaranya adalah masyarakat belum menemukan “satria piningit” (pemimpin) yang mampu membawa masyarakat ke arah yang lebih berarti. Persoalan mendasar dari fenomena tersebut adalah terjadinya degradasi kepercayaan (trusting leader) terhadap pemimpin negara. Alasan sederhana yang dikemukakan adalah pemimpin yang pernah lahir dan sebelumnya dipercaya rakyat, tidak mampu mengangkat kehidupan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Bahkan dalam pandangan sebagian rakyat Indonesia, justru pemimpin-pemimpin yang ada semakin membawa keterpurukan yang sudah terjadi sebelumnya.

Secara sederhana, pemimpin bisa diartikan sebagai seseorang yang dipercaya oleh para pengikutnya (konstituen) untuk mengatasi persoalan yang menyangkut kepentingan orang banyak, memiliki responsibility yang tinggi, memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas, bermoral, tangguh dan berani menghadapi tantangan apapun, disayangi dan disenangi oleh para pengikutnya, dan mampu membawa lembaga atau institusi yang dia pimpin menuju perubahan yang konstruktif. Manifestasi dari seorang pemimpin adalah dia tidak hanya seorang manajer yang handal, namun juga seorang perencana yang baik, melakukan proses kerja secara maksimal dan mampu menunjukkan hasil yang memuaskan banyak pihak. Dan yang terpenting adalah memiliki banyak cara untuk menghadapi persoalan yang timbul. Karena itu, bila dihubungkan dengan sosok pemimpin Indonesia saat ini, kemampuan-kemampuan seperti di atas sepenuhnya belum dimiliki.

Konsepsi dan logika kepemimpinan di era demokrasi Indonesia sekarang mungkin sangat beragam. Hal ini disebabkan konstruksi pemikiran (logika) tentang pemimpin yang dibangun selama ini juga bervariasi antara satu dengan lainnya. Hal tersebut juga tidak terlepas dari pengaruh budaya dari masyarakat atas model kepemimpinan yang mereka pandang. Model kepemimpinan masyarakat Jawa berbeda dengan model kepemimpin masyarakat Sumatera, juga berbeda dengan model kepemimpin masyarakat di daerah lainnya. Di Jawa, misalnya, mereka menganggap kepemimpinan merupakan proses yang sakral dan tunggal. Karena itu, model yang dibentuk lebih didasarkan pada trah dan hubungan keluarga. Anggapan bahwa pemimpin dilahirkan oleh keluarga pemimpin tetap mendominasi ranah berpikir masyarakat. Konsepsi seperti demikian bisa kita lihat dalam model kepemimpinan yang dijalankan mantan Presiden Suharto beberapa tahun yang lalu.

Hal ini bertentangan dengan konsepsi model kepemimpinan demokrasi yang mensyaratkan adanya sirkulasi kepemimpinan. Setiap orang memiliki peluang yang sama untuk menjadi pemimpin. Dalam konsepsi kepemimpinan demokrasi, logika yang dipakai sebagian besar adalah pengetahuan dan keluasaan wawasan, dan bukan berdasarkan trah dan hubungan kekeluargaan.

Sayangnya, kecenderungan masyarakat Indonesia masih menganggap persoalan kepemimpinan merupakan ranah yang hanya bisa dimasuki oleh sebagian kecil orang. Dalam kepercayaannya, mereka merupakan orang-orang pilihan dari Sang Maha Pencipta, dan dilahirkan untuk menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat. Persoalan simbolisasi juga merupakan satu hal yang penting bagi kepercayaan yang dianut masyarakat. Simbol-simbol yang dibawa oleh seorang pemimpin sangat berbeda dengan simbol yang dibawa masyarakat awam.

Tidak ada komentar: